Info Penting

Showing posts with label CERPEN. Show all posts
Showing posts with label CERPEN. Show all posts

Wednesday, June 2, 2010

Ibuku Bernama Palestine

By: Ahmady

“Takbir…!!!” ALLAHU AAKBAR!!!” Takbir..!!!” ALLAHU AKBAR…”

Suara itu menghentam telingaku ketika imam baru saja selesai mengucap salam pertama shalat Jum’at. Club pendukung perjuangan bumi kudus Palestina mengadakan demonstrasi mengutuk penjajahan ‘Israel’ terhadap nyawa-nyawa tak berdosa Palestina. Para peserta demo memegangi spanduk bertuliskan “PALESTINE…! WE CARE”, “PALESTINE WILL BE FREE” dan banyak lagi kalimat-kalimat yang menyulut nyali jihad para pendemo. Tak kalah kalilmat berbahasa arab “KHAIBAR-KHAIBAR YA YAHUUD, JAISYU MUHAMMAD SAUFA YA’UD” sama persis yang di laungkan orator kemudian di sambut serentak oleh semua orang yang berkerumun di halaman masjid ini.

Tahun ini-tepatnya bulan Mei, genap 62 tahun penjajahan Yahudi terhadap kaum muslimin tepat di jantung jazirah. Usianya genap sebaya dengan ibuku. Wanita yang kekal bertahta dihati itu sejenak manyapaku, wajahnya yang telah kecut oleh usia dan sinar matahari kini meninggalkan sesudut harapan. Sesaat wajah itu terbawa hadir diruangan Masjid ini dibawa oleh angin surga yang dihembuskan oleh kipas angin Panasonic tak jauh berada di depanku.

Nikmatnya ketika aku dapat hadir lebih awal dari pada biasanya. Seampai di masjid, aku meluru ke bagian depan, Farhan, kawan yang tadi memboncengku kebagian bahagiaku kali ini ketika aku sampaikan bahwa hari Jum’at ini tidak seperti jum’at biasanya. Aku mengangguk ketika ia mengajakku berebut shaf yang terdepan. Wajah ibuku, kembali hadir ketika kipas angin kembali menghembusku, seakan ia ingin berkata “Apa kata ibu, Nikmat bukan, kali ini kamu seperti mendapatkan segunung emas, bukan saja seekor onta. kamu seperti medapat telur busuk kalau selalu hadir terlambat untuk sholat Jum’at. Apa lagi kalau khatib sudah naik ke mimbar, malaikat sudah menutup buku.”

“Sudah azan belum juga berangkat… pilih telur busuk daripada seekor onta ya?” begitu suaranya terngiang-ngiang di telingaku dengan nada geramnya. Namun hari jumat ini sepertinya menjadi hari yang sudah lama ia janjikan. Hari yang dihadiahkan senyuman buatku.

Tak dapat kupungkiri memang, ketika Khatib berseru kepada sekalian jama’ah untuk bertaqwa dan menghitung diri. Dilanjutkan dengan bab yang sama sekali tak terlintas difikiranku sebelumnya. Bahwa ada perbedaan antara kalimat ‘ba’athnakum dan arsalnaakum’ demikian pula perbedaan antara kalimat tajri tahtahal anhar yang ada di surat at-taubah dengan tajri mintahtihal anhar di surat-surat yang lainnya.

Sontak gelaran buat para shahabat radiallahu anhum wa radhuu’anhu itu menusuk-nusuk setiap pori-poriku mengalirkan air sungai dari surga yang diinjeksikan ke setiap nadi. Kepahamanku yang sangat minim tentang khutbah berbahasa arab cukup membuatku malu andai saja para shahabat yang di jamin surganya menontonku.

Mereka korbankan semuanya untuk mendukung Islam. Prihatin, bukan saja aneh ketika tidak satupun pemimpin dunia sekarang ini semulia Umar yang sangat perduli teradap rakyatnya hingga sanggup bergerilya di malam hari. Malu ketika tidak ada saudara sesetia Abu Bakar yang merogoh kantong membeli Bilal dan memberikan sebagian besar isinya untuk maula-nya. Itulah yang terjadi dengan keluargaku sekarang.

Khatib undangan dari Iraq itu menjelma seperti pesulap yang mengantarkan aku kesebuah tempat yang bersepadan antara masa lalu, masa kini dan akan datang. Masa itupun berterbangan membawaku mengunjungi seluruh jazirah, ke langit-langit Jerussalem, Tebing barat, Gaza dan kembali lagi kelagit-langit negriku yang memantulkan bayangan batu-batu beserakan dan puing-puing runtuhan bangunan akibat gempa juga semburan lumpur yang mengecat muka bumiku berwarna coklat.

Lalu penerbanganku mendarat di langit-langit rumah sakit, tempat ibu dirawat. Selang-selang menjulur dari hidung beliau sedang tangannya bengkak disatroni jarum yang menusuk nadi. Di sampingnya monitor yang menunjukkan angka-angka dan garis-garis seperti yang biasa aku lihat di televisi.

Leukemia yang menggelayuti beliau berada di stasiun tiga, terapi belum juga dapat dilanjutkan lagi-lagi karena biaya. Sungguh himpitan ekonomi ini menjadi cobaan berat bagiku. Ya tuhan usaha apa lagi yang hamba bisa lakukan untuk menyelamatkan ibu.

Paman bibiku sudah aku temui, jawabannya seputar “sepupumu mau berkhitan dan butuh biaya untuk syukuran”

Tidah jauh beda dengan uwakku yang bercaramah panjang lebar, seperti tahu saja apa mauku sebelum aku mengutarakannya. Mereka beralasan kalau anaknya akan mendaftar di perguruan tinggi. Tetangga kanan kiri juga tidak luput mendengar keluhan ku, aku putuskan untuk mendatangi saudagar kain pemegang asset besar di pasar kotaku. Namun jawabnya, “Coba kamu cari lembaga sosial yang melayani masalah kesehatan, atau minta pinjaman di Bank, atau ada baitulmal yang bersedia membantumu nak”

“Aku bukan meminta nasehat pak, aku butuh uang untuk ibuku, kalau tak lebih dari kata-kata yang mampu bapak sumbangkan. Lebih baik lain kali saja” Gerutuku dalam hati, tapi diam-diam kupikirkan usulnya. Sambil setengah mengangguk aku berpamitan sembari menyusun rencanaku yang selanjutnya. Walaupun aku tahu belum ada satu baitulmal-pun di negri ini. Ataupun tidak ada Bank yang melayani pinjaman hanya alasan nyawa.

@@@

“Mbak saya ingin tau administrasi Ibu saya” kepada resepsionis berjilbab itu aku alamatkan pertanyaan.

“Ibu Mas namanya siapa” Jawab perempuan itu sambil meraih mouse sedang tangan kirinnya menggapai fail yang dihulurkan coleganya.

“Ibuku bernama Falesthin, pasien leukemia” mendengarnya mereka berpandangan satu sama lain seperti ada perkataanku yang tidak dapat ditangkap.

“Ada apa mbak?”

“Oh, nggak mas apa tadi, ehmmm… ejaannya”

“F A L E S T H I N”

“Maaf ya mas…” setelah bebereapa saat kemudian, sepertinya ada bebaban berat mengantung padu di kepalanya.

“Medi, Mediterrani” lantas jawabku sebelum sang perawat salah memanggilku.

“Maaf ya mas Medi, rasanya kurang etis kalau saya mengatakan langsung, karena ini menyangkut pengobatan juga, Dokter Surya yang pantas menjelaskan kepada Mas Medi” Perempuan itu lalu menunjukkan ruangan dokter yang harus aku temui.

“Mediterrani anakku,

Mudah-mudahan Allah selalu merahmati mu nak. Ibu selalu berdoa untuk keselamatanmu. Dan memohon agar Yang Maha Kuasa menjauhkanmu dari fitnah dunia juga fitnah akhirat. Setiap yang hidup bakal mati nak, hanya waktu yang dapat menjawab pertanyaan itu, bagai mana caranya manusia mati hanya Allah yang maha tau. Janganlah penyakit ibu ini kamu jadikan penghalang kau meraih cita-citamu”

Remuk redam terasa dadaku, gerimis mulai melanda di pelupuk mata ketika membaca surat dari ibu. Mungkinkah ini pesan terakhir yang mampu beliau titipkan lewat dokter yang merawatnya itu. Bagaimana akan ku raih bintang tanpamu ibu? Bagai mana aku mengukir nama ketika ibu harus pergi? Untuk siapa ku perjuangkan semua ini? Ya Allah… ini masih di persimpangan jalan, jangan dulu kau pisahkan aku dengan ratuku. Jangan dulu kau coba aku ketika aku sedang keletihan dan lemah mencari belas kasihan. Seperti bah yang tak dapat dibendung, semakin deras air mataku menggenang tak tertahan.

“Ibu selalu teringat kata-katamu. Kau ingin membangun yayasan untuk anak yatim, membangun baitulmal untuk membantu orang-rang miskin, membangun rumah sakit untuk orang fakir, mendirikan yayasan beasiswa untuk anak pintar, dan banyak lagi cita-citamu nak. Hanya tinta pena yang mampu ibu bekalkan, karena hanya itu yang ibu mampu belikan untukmu. Tugas membesarkan mu sudah ibu penuhi, kini izinkan ibu mengantarmu di persimpangan hidup ibu. Tidak ada yang lebih membahagiakan ibu selain melihatmu sukses, kemudian melangkah agar semua mimpi jadi kenyataan” Semakin deras air mata mengalir dan menggoncang benteng jiwaku yang dulu teguh.

Seketika aku terbang kemasa lalu mengingat masa remajaku 6 tahun dahulu. Saat istirahat menanam padi di sawah, aku menerawang langit yang cerah, di atas awan sana aku lukiskan bangunan-bangunan bernama cita-cita. Ibu mengamini sembari membantuku mengecat dinding-dindingnya.

“Ibu… tidak ada yang lebih membahagiakan anakmu selain melihat ibu sembuh. semua pintu sudah aku ketuk ibu…. Semua meja aku datangi, tangan-tangan pejabat sudah ku jabat. Namun tiada Hartawan sedermawan Abu Bakar, tidak ada pemimpin setunduk Umar. Mereka tidak perduli ibu… Ya Allah kuatkan lah hambamu” Entah kapan waktunya terakhir aku mengusap air mata, tapi waktu itu, di ruangan yang serba putih, di depan dokter yang berpakaian bersih, sepertinya airmataku pasrah menggenangi atmosfer rumah sakit.

Semua yang kumampu sudah kulakukan ya Allah, Aku sudah mendatangi tetanggaku seperti yang ibu lakukan ketika malam-malam mencari sebatang jarum untuk menjahit bajuku upacaraku, Aku tebalkan mukaku kepada saudara-saudaraku seperti ibu ketika mencari pinjaman uang untuk iuran ujianku. Aku datangi meja-meja pejabat seperti ibu mengemis kepada kepala sekolah untuk menunda uang bangunan penendaftaran SMA-ku. Aku salami tangan-tangan pejabat seperti Ibu menyalami guru ngajiku. ALLAHU AKBAR..!!! Hati ku bertakbir, getir mengingati jerih pahit ibuku. Ternyata ini tidak sebarapa dibanding pengorbananmu ibu.

Ibu, bukan salah eyang memberi nama Falesthin untuk ibu, Namun kenapa nasib ibu sama dengan Palestina. Mereka menjerit, melaung minta pertolongan, tapi dunia seakan buta dan tuli. Aku bukan tabib yang manjur menyembuhkan ibu, aku tak punya harta untuk membayar semua ibu. Dua tangan dan kakiku seperti tangan dan kaki mereka, menggandeng sepanduk pembala nasib. Mereka tak punya jubah kebesaran dan tahta kekuasaan begitu juga aku, mereka hanya menyandang doa yang terangkai erat di setiap sudut spanduk-spanduknya.

“HIDUP… HIDUP ISLAM…!!!” suara orator yang lain membuyarkan wajah Ibu dari mataku. Lalu dijawab sorakan serentak para peserta demo.

Kembali lelaki yang mengikat kepalanya dengan kain bertuliskan syahadatain itu mengancam “LAKNAT… LAKNAT YAHUDI…!!!” semakin gencar orasinya berbahasa melayu saat menyadari hanya orang-orang melayu yang ada disekitarnya.

Lalu aku terpegun heran, di mana Al-Aqsa fans yang lain. Kenapa ada dua aqsa dalam satu kampus? Kenapa tidak kami bergabung seperiti sapu lidi sehingga menjadi kuat? Kenapa tidak kami bersorak serentak sehingga seantero alam mendengarnya? Kemana pemuda-pemuda berkulit barsih dan mencung menghilang? Kemana darah-darah Arab sedang mengalir? Kemana otot-otot pemuda Afrika beristirahat? Kenapa mereka membiarkan muda-mudi yang kerdil ini berteriak? Suara yang seukuran tubuh kami mereka biarkan melaung-laung hingga serak.

Agaknya begini kampusku mewakili wacana dunia, ternyata seperti ini pemandangan peta umat manusia.

Bendera ‘Israel’ yang aku pijak ini mengingatkan tentang kerudung ibu yang berwarna putih-biru. Warna darah di sepanduk bergambar anak kecil yang sedang terluka pula mengrimku kembali kerumah sakit tempat Ibu terbaring tak berdaya.

“Kenapa kau berjuang sendiri nak? Kemana Yerussalem, kemana Saudi? Kemana Misro? Kemana kaka-kakakmu? Bukankah kita masih punya saudara nak, kenapa tidak minta uwakmu Indonesi? Atau bibikmu Maly?” kertas bisu itu mengancamku dengan berbagai pertanyaan yang aku sendiri tak tahu harus menjawab apa.

“Mereka semua punya keluarga Ibu, aku tak enak hati, dan malu sendiri bila harus minta kepada mereka lagi bu. Sebagian mereka sudah membantuku, tapi sebagian pura-pura tidak tahu” Kututurkan jawaban untuk ibu pada kertas yang lusuh tak bermaya.

“Untuk Ibu nak, hijrahlah kemana saja kamu inginkan. Temukan mata pena untuk kau tuangkan tinta mu, temukan kertas-kertas untuk kau tuliskan penamu. Tinggalkan ibu disini sendiri, Tuhan maha kaya, semoga Dia membuka pintu hati kakak-kakakmu. Semoga Dia menginsafkan uwak dan bibimu.” Amin, ku usap mataku untuk keseian kalinya.

“Kita tidak punya banyak waktu lagi, ibumu harus segera diterapi. Baik mendatangkan dokter pakar dari Singapura atau menghantar kesana.” Tegas Dokter Surya ketika menyadari aku selesai membaca surat Ibu.

“Tapi kami tidak punya biaya, dokter.” Sambil mengusap air mata yang tersiasa aku menuntut ide dari sang dokter.

“Kabarnya kamu mendapat tawaran beasiswa dari SMA-mu untuk kuliah di Malaysia?”

“Benar dokter, tapi saya bingung, seperti memadamkan api dibadan dengan telapak tangan.” Jawabku bermadah.

“Ular yang berjalan mulus tak pernah kehilangan bisa, Medi.” Entah dari mana dokter muda itu tahu namaku. Tatapan matanya mengatakan ia ingin sekali menolongku.

“Saya tahu apa yang sedang kamu kamu rasakan, sudah banyak pasien saya seperti ini. Kamu termasuk orang yang paling tangguh yang pernah aku temui dengan usia semuda ini. Bahkan aku pernah mengalaminya.”

“Maksud Dokter?”

“Ketika hampir sidang kedokteran, ayah saya menigggal secara mendadak. Saya punya pilihan untuk terbang ke tanah air dari Australia atau konsentrasi dengan sidang saya. Pilihan yang sangat sulit bagi saya waktu itu, untung saja keluarga saya mengerti lalu menyuruh saya untuk konsentrasi.”

Pikiranku masih terfokus pada surat ibu yang semakin lama semakin kusut aku remas. Namun, kesan dokter yang menguatkan itu perlahan kutangkap.

“Kalau tidak kamu ambil tawaran ini, apa konsekuensinya?”

“Tahun depan dokter, itupun kalau tak di ambil orang lain.”

“Lalu kamu ingin membiarkan kesempatan emas itu di ambil orang lain?” tanpa sempat aku jawab sang dokter meneruskan kata-katanya. “Ibumu ingin sekali kamu melanjutkan tahun ini, Cuma kamu yang jadi harapan beliau. Janganlah kecewakan beliau Medi. Beliau tidak ingin melihat wajah kamu ketika sadar nanti. Itulah pesan beliau.

“Apa yang harus saya lakukan dokter?”

“Tetap berdoa untuk ibu kamu, ini ada tiket pesawat ke Singapura serta sedikit uang yang dapat kamu gunakan untuk ongkos ke Malaysia, tapi hanya satu jalan saja. Dan ini rekomendasi serta surat-surat rujukan rumah sakit, tolong kamu serahkan ke Rumah sakit di Singapura.” Sambil menyodorkan dua lembar amplop sang dokter dengan yakin mematungkan badanku.

Aku bengong sesaat seperti tidak percaya dengan apa yang sedang aku dengar. “Malaikat atau manusia yang berdiri putih bersih di depanku ini?” Gemuruhku dalam hati.

“Ta.. tapi dokter…”

Sang dokter kemudian mencatatkan nama dan nomor telephon di balik kartu namanya sendiri tanpa menghiraukan aku. “Alamat rumah sakit di Singapura semua ada di sini. Yang ini nama dan nomor handphone sahabat saya di Kuala Lumpur. Dia sedang melanjutkan doctoral filosofi ilmu Kimia di Universiti Islam Antarabangsa Malaysia. Mudah-mudahan dapat membantu kamu.”

MASYA ALLAH…. Engkau memang maha kaya, baru saja aku lipat surat ibu, sekarang engkau kirimkan malaikat serba putih meringakan bebanku. Tak sedikitpun keraguan atas Mu ya Allah, Aku sudah tak berdaya menolak pertolonganmu lagi. Aku kini semakin yakin, bahwa inilah tunas ikhtiar yang pernah aku tanam, inilah suburnya doa yang selama ini aku sirami. Sungguh engkau tak pernah tidur ya Allah, walau sesaatpun. Engkau juga tak pernah lupa walau sedetikpun.

“Sesampainya di Singapura nanti jangan lupa kabari saya. Asal surat itu sudah sampai, proses yang selanjutnya biar pihak rumah sakit yang mengurus. Sekarang yang terpenting surat ini secepatnya sampai ke sana.” Tutur Dokter Surya menjawab kekhawatiranku.

“Singapura… Malaysia… aku datang… Ibu… Aku titipkan Ibu pada Allah melalui tangan Dokter Surya.” Tanpa ragu sedikitpun aku melangkah meninggalkan Ibu yang sedang terbaring di rumah sakit.

@@@

“Medi” Tangan berbulu setengah kaku sedang merangkul pundakku. Ghulam, teman sekelas yang gempal berbagsa India Tamil itu mengejutkan ku yang sedang mengerumuni tempat demonstrasi.

“Bhay… you surprised me. Kesi hoon bhay” Gayaku menirukan Syaif Ali Khan.

“Tik hey… Ap kesi hoon” Kali ini dia tak meniru siapa-siapa. Menurutku dia tidak kalah tanding dengan Abishek Bachan kalau bersanding dengan Aisywarya ray.

“By the way, I found this in my box, I think it is for you.” Sambil menghulurkan sampul surat yang bukan dari dalam Malaysia. Perangkonya bertuliskan “Dengan pajak kita berzakat, derajat umat kian terangkat,” dan bergambar bangunan yang menyerupai supermarket, kelapa sawit, padi dan emas di buat dengan super expose yang sangat menarik.

Suratku, kenapa bisa di kotak pos India ini? Ah… pasti ada yang tidak beres. Pantas saja dulu Dabo, taman satu kamar asal Guinea itu menjemput surat dari luar. Ternyata benar katanya, kalau kiriman mau selamat di kampus ini, harus punya alamat pos di luar. Dia sendiri sering tidak menerima kiriman abangnya dari Jepang. Ya Allah, kali ini engkau kirimkan malaikat berkulit hitam menolongku.

“Oh, thank you so much bhay…”

Setelah memberi isyarat kepada Farhan untuk pulang ke asrama dan berpamitan dengan Ghulam, aku dan kawanku melesat dengan motornya ke kamar kami masing-masing.

“Terimakasih ya Far…”

“Oke Jumpa lagi.”

Buat ananda Mediterrani

di sebrang…

Semoga yang kuasa selalu melimpahkan rahmat buat mu. Alhamdulillah, berkat doamu kiranya kesehatan Ibu sekarang semakin pulih. Anakku, sepertinya Tuhan mengizinkan Ibu untuk merayakan kesuksesanmu. Ibu sangat bersyukur punya anak seperti kamu, rahmat tuhan bertebaran di mana-mana nak, rahmat-Nya untuk ibu di kirimkan lewat tanganmu.

Lihatlah betapa maha kayanya Dia, kakak-kakakmu kini bekerja sama membangun usaha untuk mengganti pengobatan ibu. Saudi yang sudah lama belum punya anak, sebentar lagi menjadi bapak. Uwak dan bibimu juga menjadi pertimbangan mereka.

Mari nak, kita bangun kembali gedung cita-cita itu. Gedung yang berpondasikan mimpi, berwarna harapan, berpagar ikhtiar. Daun pintu yang kau inginkan terbuat dari keyakinan, tabirnya bersulam kepercayaan, jendelanya berkaca tatapan masa depan.

Anakku,

Tajamkan mata penamu, cairkan tintamu, lembutkan tarian jarimu serta susunlah kertas-kertasmu. Setelah baris-baris kertas itu kau penuhi dengan angka perjuangan, jilidlah mereka dengan tali yang berpintal doa. Sampullah dengan pekertimu dan serahkanlah ke meja sebuah bangsa, bacakan pada kalangan manusia, suluh dengan lampu sebuah agama.

Keraskan bacaanmu nak. Agar telinga raja tersentuh suaranya, imam-imam jamaah tak lupa berjabat mesra, penggawa kerajaan bersiaga. Agar air sastrawan ikut mengalir di sungai tintamu. Agar musuh menjadi surut, perbedaan menjadi kerut, pengkhianat bertekuk lutut.

Anakku,

Ibu menunggumu membawa kabar yang tertunda, di persimpangan tempat kita menanam usaha, menyirami doa, menyemai mimpi memupuk harap. Agar semua sakit terobati, semua luka tersembuhkan. Agar semua tangis menjadi tawa, semua lara menjadi suka, semua hangat menjadi dingin, dan semua keruh menjadi bening.

Salam dan bingkisan doa dari Ibumu

Di kursi yang bernama rindu…

“SUBHANALLAH… ALHAMDULILLAH YA ALLAH… setahun bagai satu kelipan-Mu, satu Palestina telah Engkau selamatkan. Kelipan yang selanjutnya… Selamatkanlah Palestina yang lain… Amiin…”

@@@

Tuesday, April 20, 2010

Stasiun Terakhir

Kali ini aku ingin menjadi kertas putih tempat Suri menuliskan cerita, menjadi kanvas tempat ia melukiskan kisah, menjadi selimut untuk ia bersemadi, menjadi dahan rindang untuk ia berteduh, menjadi tikar utuk ia meluruskan kaki, dan nenjadi langit biru tempat ia menatap harapan.
Stasiun Terakhir
Oleh: Ahmady


“Tit… tit…” Tiba-tiba Hp Sony Ericsson K530i ku berdering, antara sadar dan tidak, namun ibu jariku langsung melesat membuka inbox sekenanya. “7.30pg d bastop t’akir. atw tdk sm se x.” Begitulah nada sms yang kuterima. Tengah malam itu, aku memang keletihan, karena seharian aku tidak istirahat, 1 hari sebelumnya kelasku mulai jam 8.00 pagi sampai 3.30 sore. Sehabis kelas aku hantar temanku yang sedang sakit ke Klinik Idham, Ong Tai Kim. Ditambah diskusi tugas mata kuliah statistik dengan Profesor Saodah Wok yang lumayan njlimet. Otakku terasa mendidih dibayangi pening yang kian mendenyut, mungkin karena porsi minumku yang juga agak berkurang belakangan ini, sehingga otakku kekurangan oksigen.

Suriyanti, mahasiswi tahun dua fakultas Ekonomi yang cerdas itu berasal dari Riau. Rumahnya di sebuah desa di Kabupaten Siak, meski kelahiran Jawa, dia tidak pernah kembali menjenguk tanah kelahirannya. Sejak umur 3 tahun, sang bapak memboyong keluarganya pindah ke Sumatra, mengikuti program transmigrasi pemerintahan al-marhum Pak Harto. Setelah malang melintang di tanah melayu, akhirnya keluarga itu menetap di desa yang sekarang mereka tinggali, Kecamatan Jati Baru, Kabupaten Siak. Alasannya satu, demi pendidikan anak-anak.

Aku tak habis fikir, mengapa tiba-tiba dia mengirim sms seperti itu. Tidak ada hal aneh yang terjadi hari-hari sebelumnya, dia hanya menulis dalam Facebook bahwa dunia tidak adil terhadapnya. Masih sebuah teka-teki yang belum terjawab, karena handphone nya tidak aktif ketika aku hubungi. Kiriman SMS-ku juga tidak dibalas, entah masuk atau tidak, namun pertanyaan yang berputar-putar di kepalaku semakin ligat mencari jawaban yang tak kunjung ku temukan. Lantas kenapa ada pilihan “Atau tidak sama sekali?”

Setelah beberapa kali mail voice, akhirnya handphone-ku menyerah kalah, tidak ada satu sen pun yang tersisa. Aku lalu lari ke kafe Bilal, mendatangi mesin pulsa, karena tidak ada toko yang buka pagi-pagi buta begini. Mesin pulsa, tak ubahnya seperti mesin bantu lainnya, yang sejatinya mengurangi intensitas keramahan umat manusia, dan mengurangi satu poin sisi silaturrahim kemanusiaan itu memang sedang tidak ramah padaku. Pulsa lima Ringgit-an yang aku cari sedang tidak tersedia, melainkan tiga puluh dan lima puluh, ah… apakah handphone-ku harus sarapan kenyang pagi ini? apa harus melayang bajet makanku satu minggu ini? Barangkali, ini yang tidak adil. Akhirnya aku tunda untuk mengisi pulsa sehabis kelas nanti.

Tugas T-Test mata kuliah statistik dengan Profesor Saodah Wok belum juga aku rampungkan. Tinggal menyalin saja di final draft. Hasil kalkulasiku, mean berbeda 0,02 dari output SPSS komputer, tapi itu tidak menjadi masalah kata Bang Ayub, asisten dosenku. Asalkan kalkulasinya benar, itu akan diterima.

Sudah empat hari ini tidak ada kabar dari Suriyanti. Facebook-nya juga tidak pernah di update, e-mail yang aku kirim dua hari yang lalu belum juga kunjung dibalas. Aku hanya ingin dia tahu, kalau aku ingin sekali menemuinya hari itu, namun malangnya kelasku mulai jam delapan pagi, tugasan yang harus di hantar sebelum kelas pun juga belum disalin. Buntu sekali rasanya pikiranku waktu itu.

Hari kelima aku buka Facebook. Gembira sekali aku ketika ada kotak masuk, face book yang sengaja aku seting menggunakan bahasa Jawa aku kelik di “Kiriman nang tembok” tulisannya: “Aku sudah di Indo, kamu nggak salah, kenapa harus minta maaf? Chatting besok malam bisa Nan? aku OL jam 8 WIB ya…”

“Ok, kita ketemu jam 8 WIB alias 9 Mly.” Reply-ku setuju. Sepertinya banyak sekali yang ingin ia ceritakan. Entah karena 5 hari tidak SMS-an atau mungkin baru sekarang dia bersedia untuk curhat.

Curhat kali ini mungkin lebih dahsyat dari curhat-curhat sebelumnya. Kalau dulu tentang orang tuanya yang punya warung mi ayam di belakang Istana Siak, tentang kakaknya yang kuliah di Pekan Baru dengan biaya sendiri dan menjadi penjaga masjid, sehingga bisa kridit sepeda motor sendiri, tentang roommate yang tidak pernah ambil tahu tentang kaeadaannya, sehingga ketika kiriman telat, ia rela makan Supermi daripada harus ngutang, atau tentang dosen Ekonomi Mikronya yang selalu pilih kasih terhadap mahasiswa internasional, terutama anak Indonesia. Dan seabrek masalah yang dibagi rata denganku. Anehnya, aku justru tidak merasa keberatan dengan masalahnya, melainkan senang hati mendengarkannya.

Barangkali aku lebih beruntung. Menjadi lelaki yang bebas melangkah dan panjang depa. Dengan kelelakian yang aku sandang, al-marhum bapakku selalu mewanti-wanti, “ Anak lanang kui mikul duwur mendem jeru.” Kata beliau, jadi anak lelaki sejati harus bisa mengangkat derajat keluarga setinggi-tingginya dan menghilangkan kesusahan sebisa-bisanya, beliau tidak ingin anak lelakinya menjadi beban orang tua.

Dia juga tidak keberatan ketika aku curhat tentang kehidupanku. Kubagi padanya pengalaman kerja sebagai tukang photocopy sambilan di perpustakaan kampus. Dari bos yang agak cerewet tetapi baik hati, gadis melayu yang alergi dengan bahasanya sendiri, yang tidak mahu salinan timbal-balik karena alasan mooting , teman satu profesi yang mengutip kertas sortiran untuk catatan di kelas, sampai kerja lembur hari Sabtu dan Minggu.

Yang jelas hidup ini terasa ringan ketika dia ada di sini, namun ketika dia tiada, kata ringan seakan-akan terhapus dari kamus makhluk penghuni planet bumi. Menjadikan hidup semuanya terasa berat. Padahal dulu dia yang selalu memberi kekuatan padaku.

“Kamu harus bersyukur, ada kesempatan kerja sambilan, yang jelas kamu punya banyak pengalaman daripada kawan-kawan yang tidak pernah bekerja, aku suka itu.” Kali ini, sepertinya giliranku yang berperan sebagai salju untuk menyejukkna hatinya, sebagai oli pelicin yang menghilangkan karat di dadanya, sebagai psikolog yang mendengarkan semua masalahnya, dan sebagai gelas ketika kesedihannya ditumpahkan.

“Assalamu’alaikum, ada apa Suri?” Tepat jam 9 malam aku kirim di wall-nya.

Jarum panjang jam dinding sudah merapat ke angka 1, hampir 5 menit berlalu namun tiada balasan. Aku coba di Yahoo, ku ucapkan salam dan tanya kabarnya, ternyata dia belum juga on-line. Antara Facebook dan Yahoo aku klik bergiliran, namun Suri belum kunjung on-line. Sesekali aku buka Menitriau dan Youtube. Film Sang Pemimpi yang aku tunggu-tungggu belum juga keluar bajakannya di laman video itu.

Menurut Idan, kawan satu fakultas ku, film itu bakal dapat merubah mental kawan-kawan satu angkatannya yang sama-sama mendapat beasiswa. Dia sendiri sudah membaca ulang bukunya tiga kali. Entah berapa dia digaji penerbitnya, sehingga tidak bosan-bosannya mempromosikan buku tersebut kepada kawan-kawannya. Alasannya simpel, kawannya akan mendapat pencerahan setelah membacanya, karena membandingkan keadaan mereka yang serba ada dengan tokoh-tokoh dalam buku itu. Terutama kepada Imran, figur yang dulu dikenal sederhana, sekarang ingin sekali tinggal di asrama Ruqayya, asrama elit yang membangun ruang perbandingan dan menggali lubang perbedaan antara mahasiswa kampus. Sesuai dengan penghuninya, asrama itu digelar “Rumah Kaya” plesetan sekaligus kepanjangan dari Ru dan Qayya.

Bagiku, buku itu seperti buku-buku lainnya yang menyentuh sisi kemanusiaan melalui kemiskinan dan himpitan hidup. Filmnya menggambarkan kisah sedih anak-anak miskin yang ingin sekolah. Sayangnya dunia nyata ini bukanlah novel ataupun film. Sebagian orang hidup dan menjalani kehidupan seperti air mengalir, sedangkan yang lain membanting tulang mencari hidup itu sendiri.

Semuanya tidak berhasil menjadi pancerahan bagi penonton atau pembaca yang dihatinya ada penyakit, kata ustaz Rahman, Pembina halaqah mingguanku, “Fi qulubihim marodhun.” Film-film bermutu dan buku-buku jitu hanya sebagai bubur dan nasi yang santapan harian yang tiada meninggalkan bekas.

“Plug.” Suara itu mendesirkan aliran darahku yang sedang mendidih. “Wassalam, sudah baca Menitriau, Berita Siak?” Tiba-tiba ada pesan masuk di laman Yahoo.

“Maaf terlambat, ngantri.” Barangkali terlambat ngantri di warnet, begitu persepsiku terhadap sahabatku ini. Dulu, dia sendiri yang bersikeras disiplin tentang waktu, mental jam kampung yang biasa molor satu jam tidak akan diterapkannya di Malaysia.

“Jauh-jauh menyebrang selat Melaka, kenapa jam karet tidak ditanggalkan di kampung?” begitu hujjahnya dulu. Menurutnya, kami akan ketinggalan jauh kalau selalu terlambat.

“Sebenarnya, Indonesia akan satu langkah lebih maju ke depan jika jam masuk sekolah diajukan setengah jam.” Seperti pidatonya Datin Seri Rosmah Mansor.

“Jangan dulu diajukan setengah jam, gurunya masuk tepat waktu saja sudah untung. Yang ada, mereka masuk ke kelas setelah gosip hangat pagi hari sudah sejuk dibicarakan, setelah anak-anak nakal keluar dan berdrama di kaki lima.” Aku menimpali kata-katanya yang berapi-api membakar semangat patriotisme pembela hak anak sekolah dan wali murid atas SPP yang mereka keluarkan.

“Kenapa? Ada apa di Menitriau? Sebentar aku baca dulu.”

“Warung di Gusur, Pedagang Minta Ganti Rugi” Kalimat teror yang menuntut simpati itu terpampang di halaman depan sebagai headline.

Setelah kuganyang isinya, ternyata pemerintah daerah tidak mau menanggapi tuntutan ganti rugi. Karena tanah tersebut awalnya milik dinas penerangan yang memang terbengkalai sejak krisis moneter tahun 1997. Lalu tahun ini dipindah-tangankan kepada perusahaan telekomunikasi swasta yang sedang naik daun untuk dijadikan tempat mendirikan tower.

“Tentang tuntutan ganti rugi?”

“Bukan ganti rugi, tepatnya solusi.”

“Tapi di situ ditulis ganti rugi.”

“Kau seperti tidak tahu media saja, propaganda. Meskipun tidak sekolah tinggi, orang-orang kampung termasuk bapakku masih maklum mana yang hak dan mana yang batil. Mereka tidak minta ganti rugi melainkan minta solusi kepada pemerintah daerah. Bukankah ini kewajiban orang tengah untuk mencarikan solusi? Kalau pemda tidak bisa menjadi orang tengah, bagai mana nasib rakyat? Mereka kaget karena kehilangan pekerjaan secara drastis, tanpa di beri tahu sebelumnya bahwa warung akan digusur. Padahal mereka sudah 13 tahun mencari makan di situ.”

“Lalu apa hubungannya kau pulang ke tanah air? Dengan tidak memberi tahu aku sebelumnya, kau kira aku tidak khawatir?”

“Maaf kalau aku sudah bikin kau khawatir. Tapi aku juga tidak mudah untuk mengucapkan selamat tinggal. Karena aku belum tentu bisa kembali lagi ke UIA”

“Kenapa? Apa masalahnya?”

“Simple.”

“Kalau simple kenapa tidak kita selesaikan bersama disini? Kenapa harus pulang?”

“Simpel utuk dikatakan rumit.”

“Benarkah begitu Suriyanti Rahayu putri Primanto? Kalau begitu ceritakan sekarang, siapa tahu aku bisa membantumu.” Kalimat ajaib mengantongi salju dari Antartika itulah yang acap kali ia lontarkan ketika aku dirudung masalah, terlebih ketika dulu aku curhat dan tertekan karena selalu di curigai Polis Diraja Malaysia dan RELA gara-gara ototku banyak menyembul, kulitku yang agak hangus dengan wajah jerawatan. Mataku merah ditambah daging yang menumpuk agak padat dan rambut kurang terurus. Paket itu membuat tangan-tangan kerajaan itu mengira aku adalah pendatang tanpa izin yang kehabisan visa.

Kewibawaan mereka dimataku pun sirna begitu saja, bagimana tidak! karena tampangku kerap kali menjadi barometer dan alasan utama untuk melempar curiga kepadaku, Lebih-lebih lagi satpam kampus, sok selektif kalau ada mahasiswa yang pulang dari belanja, padahal hampir tiap hari mahasiswa kecolongan laptop dan handphone, namun mereka tak begitu peduli seperti pedulinya pada fisikku. Aneh!! Satu hal lagi, mungkin mereka lupa, bahwa cuma seragam itu yang sedikit membuat mereka lebih beruntung dan manis di sebalik kulit hitam dan badannya yang kurang keras. Ingin sekali aku katakan pada mereka “Don’t judge the book by its cover!” Tapi Alhamdulillah sejauh ini sabar masih menjadi opsi terbaik ku, ya Allah jadikan aku hamba Mu yang senantiasa bersabar…, amin.

Kali ini aku ingin menjadi kertas putih tempat Suri menuliskan cerita, menjadi kanvas tempat ia melukiskan kisah, menjadi selimut untuk ia bersemadi, menjadi dahan rindang untuk ia berteduh, menjadi tikar utuk ia meluruskan kaki, dan nenjadi langit biru tempat ia menatap harapan.

“Terimakasih Hannan. Setidaknya aku tidak sendiri dengan ketidak-adilan ini. Aku sangat beruntung punya sahabat seperti kamu”

“Suri… Suri, kau boleh mengaggapku sebagai sahabat, kakak, adik, kawan atau apa sajalah yang kau suka. Asalkan itu tidak mengkhianati simpatiku terhadapmu. Tapi jauh dilubuk hatiku, aku ingin punya istri seperti kamu. Selain cantik, kau juga pandai, lemah lembut, pengertian dan bersuara merdu seperti Siti Nurhaliza”. Lirihku membatin.

“Begitu naifkah sehingga kau berorasi tentang keadilan di siang bolong. Maksudku di zaman seperti ini?”

“Ya, hanya karena aku perempuan, aku yang jadi korban keadaan, hanya karena aku adik, harus terus mengalah dengan kakak.”

“Suri tuhan sedang menguji kita, percayalah, semua sudah ada yang mengatur.”

“Kenapa harus aku Hannan, kenapa bukan kakakku yang berhenti kuliah, kalau dia berhenti kuliah dan membantu bapakku cari uang, kan bisa membiayai aku kuliah ???????????”

“Nggak kurang tanda tanyanya tuh?”

“Aku serius!!!”

“Maaf Suriyanti Rahayu putri Primanto.” Begitulah kami saling mengelus dada satu sama lain tanpa kontak fisik sedikitpun.

“Baiklah Hannan Iskandar putra Waraqah”

“Apakah sudah kamu tanyakan kepada bapakmu?”

“Belum. Waktunya belum sesuai, keadaan masih kelam kabut.”

“Biar aku terka, pasti bapakmu punya alasan dan pertimbangan yang sangat matang, bisa jadi ide ini dari Ibumu, beliau masih anugrah teragungmu bukan? Shoot the moon you will get stars, if you shoot the star you will not get any.”

“Apa maksudnya Han? Dari mana kamu dapat wejangan itu?”

“Redaksi aslinya aku tidak pasti, omongan siapa itu tidak penting bagiku. Yang jelas Madam Saodah sedang bicara tentang prioritas ketika mengucapkannya”

“Lantas apa hubungannya denganku Hannan? Maklum aku kan tidak belajar sastra Inggris”

“Berarti kaulah bintangnya, bintang… coba bayangkan, kalau kakakmu yang berhenti kuliah, padahal tinggal dua semester lagi. Belum tentu cukup untuk membiayai kau dan adik-adikmu. Bisa-bisa kalian kehilangan kesempatan kedua-duanya. Kau kan tahu, di sini biaya hidup bisa dua kali lipat dari Riau, nah… untuk saat ini, biaya kakakmu masih bisa diatasi. Kalau kakakmu sudah lulus S1 nanti, barang kali bisa mencari pekerjaan yang layak dengan gaji yang boleh dihandalkan buat meneruskan kuliahmu dan adik-adikmu”.

“Maksudmu kalau aku lulus S1 tidak bisa mencari kerja yang bergaji lumayan? Gitu? Tolong jangan remehkan perempuan Han.”

“Aku bicara bukan atas nama jender Putri Primanto. Aku cuma ingin kamu sabar dan tidak panik, itu saja. Lagipula kalaupun pindah atau berhenti, kenapa harus secepat itu? Apakah ini sudah menjadi keputusan terakhir keluargamu? ”.

“Kakekku dirawat di Rumah Sakit Tabrani Pekan baru, sudah tiga minggu, jantungnya bengkak dan berair. Sampai sekarang dokter belum menemukan penyebabnya.”

“O, ya? Lalu sekarang bagaimana keadaannya?”

“Semakin lemah, mereka merekomendasikan ke Hospital Putra Melaka atau ke Singapura. Bapakku memilih Melaka, selain dekat dan ongkosnya yang terjangkau, juga ada penunjuk jalannya”

“Siapa?”

“Aku!, makanya aku pulang sekalian mengurus administrasinya, karena tidak ada lagi yang bisa mengurusnya kesana-kemari. Ayahku harus cari uang dan megurusi masalah penggusuran itu. Sementara ibuku harus menjaga kakekku di rumah sakit, sedangkan kakakku sebentar lagi ujian semester, lagipula dia tidak boleh meniggalkan masjid terlalu lama. Adikku masih kecil-kecil, mereka kami titipkan ke tetangga kalau aku dan bapakku sedang ada urusan.”

“Tuh khan, betapa maha adilnya Tuhan Suri. Kau lupa, bahwa Tuhan meletakkan surat an-Nisa untuk mewakili kaummu di kitab suci? Kau diberikan kekuatan sebesar itu meskipun kau wanita. Aku yang lelaki saja belum tentu bisa melakukan tugas mulia itu. Bersyukurlah Suri, berarti kamu diberi kesempatan untuk menguji kesabaranmu sendiri.”

“Tapi aku harus belajar Hannan, IPK-ku semester kemaren turun. Semester ini aku ingin sekali mengejar ketinggalan itu.”

“Apa kau kira, dirumah dan mengurusi keluarga itu tidak belajar? Untuk apa IPK tinggi kalau dengan sekitar kita buta dan tuli, tidak ambil tahu? Anggaplah ini ujian orang yang sedang belajar.”

“Jadi aku harus bagaimana? Bapakku sudah menyuruhku berhenti kuliah di Malaysia. Nanti kalau ada rezeki nyambung di dalam negri saja, katanya.”

“Jadi begitu keputusannya?”

“Belum aku pastikan, entah karena sedang tertekan atau sadar sepenuhnya waktu beliau berkata seperti itu. Menurutmu bagaimana?”

“Pendapatku? Hmm… maaf ya. Aku mau tanya, apa barang-barangmu sudah kau bawa semuanya?”

“Baru aku bawa dua tas, masih tersisa dua kardus buku dan satu tas pakaian. Itupun aku mau minta roommate untuk memaketkan ke rumahku.”

“Jangan dulu Suri, please… maaf bukannya aku mau mendahului kehendak bapakmu. Ya… kalau aku boleh kasih ide, study leave saja dulu, siapa tahu keadaannya akan segera berubah. Kamu terus berusaha, biar aku bantu do’a dari sini ya. Dan yang di sini biar aku yang bereskan.”

“Oh benar., sepertinya idemu bagus juga. Terimakasih banyak ya.. kalau begitu akan aku bicarakan dengan keluargaku.”

“Kalau kau setuju, berjanjilah padaku Suri.”

“Apa yang bisa aku janjikan padamu Hannan?”

“Menangi hati orang tuamu. Tidak perlu berargumen, cukup katakan pada mereka, bahwa sangat rugi kalau kita harus keluar dari UIA ini, ribuan mahasiswa yang mendaftar tidak terpanggil. Di mana lagi kita mau cari universitas Islami seperti ini di sekitar kita?” Tanpa meminta jawaban, aku tahu suri sangat maklum arah bicaraku. Di kampus ini manusia jenis apa saja bisa ditemui, terutama mahasiswa yang berasal dari Arab atau Timur Tengah, tempat Islam diturunkan. Sedikit sebanyak bisa akrab dengan bahasa Qur’an.

Semoga saja orang tua Suri akan mengerti, kalau toh nanti mau mendaftar di dalam negri, untuk mendapatkan universitas yang bermutu, berapa puluh juta Rupiah yang harus ditebus, alasannya untuk membayar uang bangunan. Diterima atau tidak itu masalah nanti, biasanya uang tidak kembali kalau pandaftaran ditolak.

Heran!! Apakah universitas-universitas itu membangun setiap tahun? Sehingga uang bangunannya melangit. Waktu aku pulang kampung, orang tua temanku menanyakan uang bangunan di UIA tempat aku belajar ini. Mereka membandingkan dengan uang bangunan tempat anak mereka belajar di universitas terkenal di tanah Jawa, mereka sangat kaget karena aku katakan tidak ada uang bangunan.

Mujur saja mereka para tauke getah atau bos kelapa sawit, yang rata-rata punya truk lebih dari dua. Ataupun pemilik kebun kelapa sawit lebih 6 hektar. Giliran orang tuaku? Atau mungkin orang tua Suri? Dari situ aku bisa mengambil pelajaran, dengan mutu yang sama, berguru di negri orang belum tentu lebih mahal dari negri sendiri. Rasanya ingin sekali aku memberi tahu para orang tua di kampungku untuk mengirim anaknya ke luar negri, bahwa dengan biaya yang sama kita juga bisa mendapatkan pendidikan yang layak atau bahkan lebih.

“Akan kucoba, terima kasih Hannan. Aku tidak tahu, tadinya pikiranku sangat suntuk, tapi sekarang agak sedikit lega.”

“Kau tak perlu berterimakasih terlalu banyak Suri, cukup lakukan satu perkara. Kau akan selalu ada untukku. Tak penting sebagai apa, asalkan itu tidak terasa berat di hatimu. Kalau kau tak keberatan juga, aku akan selalu ada untukmu.”

“Doakan aku Hannan, aku juga tak ingin kenangan kita di stasiun terakhir itu hilang begitu saja.” Ternyata gadis bernama Suri itu masih menyimpan kenangan lalu.

Mungkin, sebenarnya dia tahu bahwa aku mengambil fotonya waktu dompetnya terjatuh. Berarti dia tahu kalau sebenarnya aku menaksir dia sejak dulu. Berarti, berarti dan berarti… ah, kenapa kisahku seperti kisah-kisah dalam novel romantis, mungkinkah akhirnya akan happy ending juga. Stasiun terakhir… tempat aku berjumpa pertama kali dengan gadis teguh bernama Suri. Kisahku berawal di sini.

Aku tunggu kedatanganmu Suri, di stasiun terakhir berwarna merah. Ketika kau datang nanti, akan kumerahkan seluruh isi kampus ini, bersamamu…
 

Komentar Terbaru

Ikmalaysia Followers