Info Penting

Tuesday, April 20, 2010

Stasiun Terakhir

Kali ini aku ingin menjadi kertas putih tempat Suri menuliskan cerita, menjadi kanvas tempat ia melukiskan kisah, menjadi selimut untuk ia bersemadi, menjadi dahan rindang untuk ia berteduh, menjadi tikar utuk ia meluruskan kaki, dan nenjadi langit biru tempat ia menatap harapan.
Stasiun Terakhir
Oleh: Ahmady


“Tit… tit…” Tiba-tiba Hp Sony Ericsson K530i ku berdering, antara sadar dan tidak, namun ibu jariku langsung melesat membuka inbox sekenanya. “7.30pg d bastop t’akir. atw tdk sm se x.” Begitulah nada sms yang kuterima. Tengah malam itu, aku memang keletihan, karena seharian aku tidak istirahat, 1 hari sebelumnya kelasku mulai jam 8.00 pagi sampai 3.30 sore. Sehabis kelas aku hantar temanku yang sedang sakit ke Klinik Idham, Ong Tai Kim. Ditambah diskusi tugas mata kuliah statistik dengan Profesor Saodah Wok yang lumayan njlimet. Otakku terasa mendidih dibayangi pening yang kian mendenyut, mungkin karena porsi minumku yang juga agak berkurang belakangan ini, sehingga otakku kekurangan oksigen.

Suriyanti, mahasiswi tahun dua fakultas Ekonomi yang cerdas itu berasal dari Riau. Rumahnya di sebuah desa di Kabupaten Siak, meski kelahiran Jawa, dia tidak pernah kembali menjenguk tanah kelahirannya. Sejak umur 3 tahun, sang bapak memboyong keluarganya pindah ke Sumatra, mengikuti program transmigrasi pemerintahan al-marhum Pak Harto. Setelah malang melintang di tanah melayu, akhirnya keluarga itu menetap di desa yang sekarang mereka tinggali, Kecamatan Jati Baru, Kabupaten Siak. Alasannya satu, demi pendidikan anak-anak.

Aku tak habis fikir, mengapa tiba-tiba dia mengirim sms seperti itu. Tidak ada hal aneh yang terjadi hari-hari sebelumnya, dia hanya menulis dalam Facebook bahwa dunia tidak adil terhadapnya. Masih sebuah teka-teki yang belum terjawab, karena handphone nya tidak aktif ketika aku hubungi. Kiriman SMS-ku juga tidak dibalas, entah masuk atau tidak, namun pertanyaan yang berputar-putar di kepalaku semakin ligat mencari jawaban yang tak kunjung ku temukan. Lantas kenapa ada pilihan “Atau tidak sama sekali?”

Setelah beberapa kali mail voice, akhirnya handphone-ku menyerah kalah, tidak ada satu sen pun yang tersisa. Aku lalu lari ke kafe Bilal, mendatangi mesin pulsa, karena tidak ada toko yang buka pagi-pagi buta begini. Mesin pulsa, tak ubahnya seperti mesin bantu lainnya, yang sejatinya mengurangi intensitas keramahan umat manusia, dan mengurangi satu poin sisi silaturrahim kemanusiaan itu memang sedang tidak ramah padaku. Pulsa lima Ringgit-an yang aku cari sedang tidak tersedia, melainkan tiga puluh dan lima puluh, ah… apakah handphone-ku harus sarapan kenyang pagi ini? apa harus melayang bajet makanku satu minggu ini? Barangkali, ini yang tidak adil. Akhirnya aku tunda untuk mengisi pulsa sehabis kelas nanti.

Tugas T-Test mata kuliah statistik dengan Profesor Saodah Wok belum juga aku rampungkan. Tinggal menyalin saja di final draft. Hasil kalkulasiku, mean berbeda 0,02 dari output SPSS komputer, tapi itu tidak menjadi masalah kata Bang Ayub, asisten dosenku. Asalkan kalkulasinya benar, itu akan diterima.

Sudah empat hari ini tidak ada kabar dari Suriyanti. Facebook-nya juga tidak pernah di update, e-mail yang aku kirim dua hari yang lalu belum juga kunjung dibalas. Aku hanya ingin dia tahu, kalau aku ingin sekali menemuinya hari itu, namun malangnya kelasku mulai jam delapan pagi, tugasan yang harus di hantar sebelum kelas pun juga belum disalin. Buntu sekali rasanya pikiranku waktu itu.

Hari kelima aku buka Facebook. Gembira sekali aku ketika ada kotak masuk, face book yang sengaja aku seting menggunakan bahasa Jawa aku kelik di “Kiriman nang tembok” tulisannya: “Aku sudah di Indo, kamu nggak salah, kenapa harus minta maaf? Chatting besok malam bisa Nan? aku OL jam 8 WIB ya…”

“Ok, kita ketemu jam 8 WIB alias 9 Mly.” Reply-ku setuju. Sepertinya banyak sekali yang ingin ia ceritakan. Entah karena 5 hari tidak SMS-an atau mungkin baru sekarang dia bersedia untuk curhat.

Curhat kali ini mungkin lebih dahsyat dari curhat-curhat sebelumnya. Kalau dulu tentang orang tuanya yang punya warung mi ayam di belakang Istana Siak, tentang kakaknya yang kuliah di Pekan Baru dengan biaya sendiri dan menjadi penjaga masjid, sehingga bisa kridit sepeda motor sendiri, tentang roommate yang tidak pernah ambil tahu tentang kaeadaannya, sehingga ketika kiriman telat, ia rela makan Supermi daripada harus ngutang, atau tentang dosen Ekonomi Mikronya yang selalu pilih kasih terhadap mahasiswa internasional, terutama anak Indonesia. Dan seabrek masalah yang dibagi rata denganku. Anehnya, aku justru tidak merasa keberatan dengan masalahnya, melainkan senang hati mendengarkannya.

Barangkali aku lebih beruntung. Menjadi lelaki yang bebas melangkah dan panjang depa. Dengan kelelakian yang aku sandang, al-marhum bapakku selalu mewanti-wanti, “ Anak lanang kui mikul duwur mendem jeru.” Kata beliau, jadi anak lelaki sejati harus bisa mengangkat derajat keluarga setinggi-tingginya dan menghilangkan kesusahan sebisa-bisanya, beliau tidak ingin anak lelakinya menjadi beban orang tua.

Dia juga tidak keberatan ketika aku curhat tentang kehidupanku. Kubagi padanya pengalaman kerja sebagai tukang photocopy sambilan di perpustakaan kampus. Dari bos yang agak cerewet tetapi baik hati, gadis melayu yang alergi dengan bahasanya sendiri, yang tidak mahu salinan timbal-balik karena alasan mooting , teman satu profesi yang mengutip kertas sortiran untuk catatan di kelas, sampai kerja lembur hari Sabtu dan Minggu.

Yang jelas hidup ini terasa ringan ketika dia ada di sini, namun ketika dia tiada, kata ringan seakan-akan terhapus dari kamus makhluk penghuni planet bumi. Menjadikan hidup semuanya terasa berat. Padahal dulu dia yang selalu memberi kekuatan padaku.

“Kamu harus bersyukur, ada kesempatan kerja sambilan, yang jelas kamu punya banyak pengalaman daripada kawan-kawan yang tidak pernah bekerja, aku suka itu.” Kali ini, sepertinya giliranku yang berperan sebagai salju untuk menyejukkna hatinya, sebagai oli pelicin yang menghilangkan karat di dadanya, sebagai psikolog yang mendengarkan semua masalahnya, dan sebagai gelas ketika kesedihannya ditumpahkan.

“Assalamu’alaikum, ada apa Suri?” Tepat jam 9 malam aku kirim di wall-nya.

Jarum panjang jam dinding sudah merapat ke angka 1, hampir 5 menit berlalu namun tiada balasan. Aku coba di Yahoo, ku ucapkan salam dan tanya kabarnya, ternyata dia belum juga on-line. Antara Facebook dan Yahoo aku klik bergiliran, namun Suri belum kunjung on-line. Sesekali aku buka Menitriau dan Youtube. Film Sang Pemimpi yang aku tunggu-tungggu belum juga keluar bajakannya di laman video itu.

Menurut Idan, kawan satu fakultas ku, film itu bakal dapat merubah mental kawan-kawan satu angkatannya yang sama-sama mendapat beasiswa. Dia sendiri sudah membaca ulang bukunya tiga kali. Entah berapa dia digaji penerbitnya, sehingga tidak bosan-bosannya mempromosikan buku tersebut kepada kawan-kawannya. Alasannya simpel, kawannya akan mendapat pencerahan setelah membacanya, karena membandingkan keadaan mereka yang serba ada dengan tokoh-tokoh dalam buku itu. Terutama kepada Imran, figur yang dulu dikenal sederhana, sekarang ingin sekali tinggal di asrama Ruqayya, asrama elit yang membangun ruang perbandingan dan menggali lubang perbedaan antara mahasiswa kampus. Sesuai dengan penghuninya, asrama itu digelar “Rumah Kaya” plesetan sekaligus kepanjangan dari Ru dan Qayya.

Bagiku, buku itu seperti buku-buku lainnya yang menyentuh sisi kemanusiaan melalui kemiskinan dan himpitan hidup. Filmnya menggambarkan kisah sedih anak-anak miskin yang ingin sekolah. Sayangnya dunia nyata ini bukanlah novel ataupun film. Sebagian orang hidup dan menjalani kehidupan seperti air mengalir, sedangkan yang lain membanting tulang mencari hidup itu sendiri.

Semuanya tidak berhasil menjadi pancerahan bagi penonton atau pembaca yang dihatinya ada penyakit, kata ustaz Rahman, Pembina halaqah mingguanku, “Fi qulubihim marodhun.” Film-film bermutu dan buku-buku jitu hanya sebagai bubur dan nasi yang santapan harian yang tiada meninggalkan bekas.

“Plug.” Suara itu mendesirkan aliran darahku yang sedang mendidih. “Wassalam, sudah baca Menitriau, Berita Siak?” Tiba-tiba ada pesan masuk di laman Yahoo.

“Maaf terlambat, ngantri.” Barangkali terlambat ngantri di warnet, begitu persepsiku terhadap sahabatku ini. Dulu, dia sendiri yang bersikeras disiplin tentang waktu, mental jam kampung yang biasa molor satu jam tidak akan diterapkannya di Malaysia.

“Jauh-jauh menyebrang selat Melaka, kenapa jam karet tidak ditanggalkan di kampung?” begitu hujjahnya dulu. Menurutnya, kami akan ketinggalan jauh kalau selalu terlambat.

“Sebenarnya, Indonesia akan satu langkah lebih maju ke depan jika jam masuk sekolah diajukan setengah jam.” Seperti pidatonya Datin Seri Rosmah Mansor.

“Jangan dulu diajukan setengah jam, gurunya masuk tepat waktu saja sudah untung. Yang ada, mereka masuk ke kelas setelah gosip hangat pagi hari sudah sejuk dibicarakan, setelah anak-anak nakal keluar dan berdrama di kaki lima.” Aku menimpali kata-katanya yang berapi-api membakar semangat patriotisme pembela hak anak sekolah dan wali murid atas SPP yang mereka keluarkan.

“Kenapa? Ada apa di Menitriau? Sebentar aku baca dulu.”

“Warung di Gusur, Pedagang Minta Ganti Rugi” Kalimat teror yang menuntut simpati itu terpampang di halaman depan sebagai headline.

Setelah kuganyang isinya, ternyata pemerintah daerah tidak mau menanggapi tuntutan ganti rugi. Karena tanah tersebut awalnya milik dinas penerangan yang memang terbengkalai sejak krisis moneter tahun 1997. Lalu tahun ini dipindah-tangankan kepada perusahaan telekomunikasi swasta yang sedang naik daun untuk dijadikan tempat mendirikan tower.

“Tentang tuntutan ganti rugi?”

“Bukan ganti rugi, tepatnya solusi.”

“Tapi di situ ditulis ganti rugi.”

“Kau seperti tidak tahu media saja, propaganda. Meskipun tidak sekolah tinggi, orang-orang kampung termasuk bapakku masih maklum mana yang hak dan mana yang batil. Mereka tidak minta ganti rugi melainkan minta solusi kepada pemerintah daerah. Bukankah ini kewajiban orang tengah untuk mencarikan solusi? Kalau pemda tidak bisa menjadi orang tengah, bagai mana nasib rakyat? Mereka kaget karena kehilangan pekerjaan secara drastis, tanpa di beri tahu sebelumnya bahwa warung akan digusur. Padahal mereka sudah 13 tahun mencari makan di situ.”

“Lalu apa hubungannya kau pulang ke tanah air? Dengan tidak memberi tahu aku sebelumnya, kau kira aku tidak khawatir?”

“Maaf kalau aku sudah bikin kau khawatir. Tapi aku juga tidak mudah untuk mengucapkan selamat tinggal. Karena aku belum tentu bisa kembali lagi ke UIA”

“Kenapa? Apa masalahnya?”

“Simple.”

“Kalau simple kenapa tidak kita selesaikan bersama disini? Kenapa harus pulang?”

“Simpel utuk dikatakan rumit.”

“Benarkah begitu Suriyanti Rahayu putri Primanto? Kalau begitu ceritakan sekarang, siapa tahu aku bisa membantumu.” Kalimat ajaib mengantongi salju dari Antartika itulah yang acap kali ia lontarkan ketika aku dirudung masalah, terlebih ketika dulu aku curhat dan tertekan karena selalu di curigai Polis Diraja Malaysia dan RELA gara-gara ototku banyak menyembul, kulitku yang agak hangus dengan wajah jerawatan. Mataku merah ditambah daging yang menumpuk agak padat dan rambut kurang terurus. Paket itu membuat tangan-tangan kerajaan itu mengira aku adalah pendatang tanpa izin yang kehabisan visa.

Kewibawaan mereka dimataku pun sirna begitu saja, bagimana tidak! karena tampangku kerap kali menjadi barometer dan alasan utama untuk melempar curiga kepadaku, Lebih-lebih lagi satpam kampus, sok selektif kalau ada mahasiswa yang pulang dari belanja, padahal hampir tiap hari mahasiswa kecolongan laptop dan handphone, namun mereka tak begitu peduli seperti pedulinya pada fisikku. Aneh!! Satu hal lagi, mungkin mereka lupa, bahwa cuma seragam itu yang sedikit membuat mereka lebih beruntung dan manis di sebalik kulit hitam dan badannya yang kurang keras. Ingin sekali aku katakan pada mereka “Don’t judge the book by its cover!” Tapi Alhamdulillah sejauh ini sabar masih menjadi opsi terbaik ku, ya Allah jadikan aku hamba Mu yang senantiasa bersabar…, amin.

Kali ini aku ingin menjadi kertas putih tempat Suri menuliskan cerita, menjadi kanvas tempat ia melukiskan kisah, menjadi selimut untuk ia bersemadi, menjadi dahan rindang untuk ia berteduh, menjadi tikar utuk ia meluruskan kaki, dan nenjadi langit biru tempat ia menatap harapan.

“Terimakasih Hannan. Setidaknya aku tidak sendiri dengan ketidak-adilan ini. Aku sangat beruntung punya sahabat seperti kamu”

“Suri… Suri, kau boleh mengaggapku sebagai sahabat, kakak, adik, kawan atau apa sajalah yang kau suka. Asalkan itu tidak mengkhianati simpatiku terhadapmu. Tapi jauh dilubuk hatiku, aku ingin punya istri seperti kamu. Selain cantik, kau juga pandai, lemah lembut, pengertian dan bersuara merdu seperti Siti Nurhaliza”. Lirihku membatin.

“Begitu naifkah sehingga kau berorasi tentang keadilan di siang bolong. Maksudku di zaman seperti ini?”

“Ya, hanya karena aku perempuan, aku yang jadi korban keadaan, hanya karena aku adik, harus terus mengalah dengan kakak.”

“Suri tuhan sedang menguji kita, percayalah, semua sudah ada yang mengatur.”

“Kenapa harus aku Hannan, kenapa bukan kakakku yang berhenti kuliah, kalau dia berhenti kuliah dan membantu bapakku cari uang, kan bisa membiayai aku kuliah ???????????”

“Nggak kurang tanda tanyanya tuh?”

“Aku serius!!!”

“Maaf Suriyanti Rahayu putri Primanto.” Begitulah kami saling mengelus dada satu sama lain tanpa kontak fisik sedikitpun.

“Baiklah Hannan Iskandar putra Waraqah”

“Apakah sudah kamu tanyakan kepada bapakmu?”

“Belum. Waktunya belum sesuai, keadaan masih kelam kabut.”

“Biar aku terka, pasti bapakmu punya alasan dan pertimbangan yang sangat matang, bisa jadi ide ini dari Ibumu, beliau masih anugrah teragungmu bukan? Shoot the moon you will get stars, if you shoot the star you will not get any.”

“Apa maksudnya Han? Dari mana kamu dapat wejangan itu?”

“Redaksi aslinya aku tidak pasti, omongan siapa itu tidak penting bagiku. Yang jelas Madam Saodah sedang bicara tentang prioritas ketika mengucapkannya”

“Lantas apa hubungannya denganku Hannan? Maklum aku kan tidak belajar sastra Inggris”

“Berarti kaulah bintangnya, bintang… coba bayangkan, kalau kakakmu yang berhenti kuliah, padahal tinggal dua semester lagi. Belum tentu cukup untuk membiayai kau dan adik-adikmu. Bisa-bisa kalian kehilangan kesempatan kedua-duanya. Kau kan tahu, di sini biaya hidup bisa dua kali lipat dari Riau, nah… untuk saat ini, biaya kakakmu masih bisa diatasi. Kalau kakakmu sudah lulus S1 nanti, barang kali bisa mencari pekerjaan yang layak dengan gaji yang boleh dihandalkan buat meneruskan kuliahmu dan adik-adikmu”.

“Maksudmu kalau aku lulus S1 tidak bisa mencari kerja yang bergaji lumayan? Gitu? Tolong jangan remehkan perempuan Han.”

“Aku bicara bukan atas nama jender Putri Primanto. Aku cuma ingin kamu sabar dan tidak panik, itu saja. Lagipula kalaupun pindah atau berhenti, kenapa harus secepat itu? Apakah ini sudah menjadi keputusan terakhir keluargamu? ”.

“Kakekku dirawat di Rumah Sakit Tabrani Pekan baru, sudah tiga minggu, jantungnya bengkak dan berair. Sampai sekarang dokter belum menemukan penyebabnya.”

“O, ya? Lalu sekarang bagaimana keadaannya?”

“Semakin lemah, mereka merekomendasikan ke Hospital Putra Melaka atau ke Singapura. Bapakku memilih Melaka, selain dekat dan ongkosnya yang terjangkau, juga ada penunjuk jalannya”

“Siapa?”

“Aku!, makanya aku pulang sekalian mengurus administrasinya, karena tidak ada lagi yang bisa mengurusnya kesana-kemari. Ayahku harus cari uang dan megurusi masalah penggusuran itu. Sementara ibuku harus menjaga kakekku di rumah sakit, sedangkan kakakku sebentar lagi ujian semester, lagipula dia tidak boleh meniggalkan masjid terlalu lama. Adikku masih kecil-kecil, mereka kami titipkan ke tetangga kalau aku dan bapakku sedang ada urusan.”

“Tuh khan, betapa maha adilnya Tuhan Suri. Kau lupa, bahwa Tuhan meletakkan surat an-Nisa untuk mewakili kaummu di kitab suci? Kau diberikan kekuatan sebesar itu meskipun kau wanita. Aku yang lelaki saja belum tentu bisa melakukan tugas mulia itu. Bersyukurlah Suri, berarti kamu diberi kesempatan untuk menguji kesabaranmu sendiri.”

“Tapi aku harus belajar Hannan, IPK-ku semester kemaren turun. Semester ini aku ingin sekali mengejar ketinggalan itu.”

“Apa kau kira, dirumah dan mengurusi keluarga itu tidak belajar? Untuk apa IPK tinggi kalau dengan sekitar kita buta dan tuli, tidak ambil tahu? Anggaplah ini ujian orang yang sedang belajar.”

“Jadi aku harus bagaimana? Bapakku sudah menyuruhku berhenti kuliah di Malaysia. Nanti kalau ada rezeki nyambung di dalam negri saja, katanya.”

“Jadi begitu keputusannya?”

“Belum aku pastikan, entah karena sedang tertekan atau sadar sepenuhnya waktu beliau berkata seperti itu. Menurutmu bagaimana?”

“Pendapatku? Hmm… maaf ya. Aku mau tanya, apa barang-barangmu sudah kau bawa semuanya?”

“Baru aku bawa dua tas, masih tersisa dua kardus buku dan satu tas pakaian. Itupun aku mau minta roommate untuk memaketkan ke rumahku.”

“Jangan dulu Suri, please… maaf bukannya aku mau mendahului kehendak bapakmu. Ya… kalau aku boleh kasih ide, study leave saja dulu, siapa tahu keadaannya akan segera berubah. Kamu terus berusaha, biar aku bantu do’a dari sini ya. Dan yang di sini biar aku yang bereskan.”

“Oh benar., sepertinya idemu bagus juga. Terimakasih banyak ya.. kalau begitu akan aku bicarakan dengan keluargaku.”

“Kalau kau setuju, berjanjilah padaku Suri.”

“Apa yang bisa aku janjikan padamu Hannan?”

“Menangi hati orang tuamu. Tidak perlu berargumen, cukup katakan pada mereka, bahwa sangat rugi kalau kita harus keluar dari UIA ini, ribuan mahasiswa yang mendaftar tidak terpanggil. Di mana lagi kita mau cari universitas Islami seperti ini di sekitar kita?” Tanpa meminta jawaban, aku tahu suri sangat maklum arah bicaraku. Di kampus ini manusia jenis apa saja bisa ditemui, terutama mahasiswa yang berasal dari Arab atau Timur Tengah, tempat Islam diturunkan. Sedikit sebanyak bisa akrab dengan bahasa Qur’an.

Semoga saja orang tua Suri akan mengerti, kalau toh nanti mau mendaftar di dalam negri, untuk mendapatkan universitas yang bermutu, berapa puluh juta Rupiah yang harus ditebus, alasannya untuk membayar uang bangunan. Diterima atau tidak itu masalah nanti, biasanya uang tidak kembali kalau pandaftaran ditolak.

Heran!! Apakah universitas-universitas itu membangun setiap tahun? Sehingga uang bangunannya melangit. Waktu aku pulang kampung, orang tua temanku menanyakan uang bangunan di UIA tempat aku belajar ini. Mereka membandingkan dengan uang bangunan tempat anak mereka belajar di universitas terkenal di tanah Jawa, mereka sangat kaget karena aku katakan tidak ada uang bangunan.

Mujur saja mereka para tauke getah atau bos kelapa sawit, yang rata-rata punya truk lebih dari dua. Ataupun pemilik kebun kelapa sawit lebih 6 hektar. Giliran orang tuaku? Atau mungkin orang tua Suri? Dari situ aku bisa mengambil pelajaran, dengan mutu yang sama, berguru di negri orang belum tentu lebih mahal dari negri sendiri. Rasanya ingin sekali aku memberi tahu para orang tua di kampungku untuk mengirim anaknya ke luar negri, bahwa dengan biaya yang sama kita juga bisa mendapatkan pendidikan yang layak atau bahkan lebih.

“Akan kucoba, terima kasih Hannan. Aku tidak tahu, tadinya pikiranku sangat suntuk, tapi sekarang agak sedikit lega.”

“Kau tak perlu berterimakasih terlalu banyak Suri, cukup lakukan satu perkara. Kau akan selalu ada untukku. Tak penting sebagai apa, asalkan itu tidak terasa berat di hatimu. Kalau kau tak keberatan juga, aku akan selalu ada untukmu.”

“Doakan aku Hannan, aku juga tak ingin kenangan kita di stasiun terakhir itu hilang begitu saja.” Ternyata gadis bernama Suri itu masih menyimpan kenangan lalu.

Mungkin, sebenarnya dia tahu bahwa aku mengambil fotonya waktu dompetnya terjatuh. Berarti dia tahu kalau sebenarnya aku menaksir dia sejak dulu. Berarti, berarti dan berarti… ah, kenapa kisahku seperti kisah-kisah dalam novel romantis, mungkinkah akhirnya akan happy ending juga. Stasiun terakhir… tempat aku berjumpa pertama kali dengan gadis teguh bernama Suri. Kisahku berawal di sini.

Aku tunggu kedatanganmu Suri, di stasiun terakhir berwarna merah. Ketika kau datang nanti, akan kumerahkan seluruh isi kampus ini, bersamamu…

1 comments:

sang pemimpi said...

mantap pak novelnya aqu jadi keingat ma shobat ku,, kisah nya mirip bngte ma yang bapak ceritain,, yah semoga ja, akhirnya happy ending bapak ketemu dia n jodoh ,,ku doakan ya pak,,

Post a Comment

Kepada rekan-rekan yang kami hormati,Silahkan berkomentar dengan baik dan Sopan di form Komentar dibawah ini, karna kita sama-sama tahu kalau setiap panca indra yg kita miliki akan di mintai pertanggung jawaban kelak di akhirat nanti, O ya Klo rekan-rekan sekalian berkenan memberikan Komentar jangan lupa Kasih identitas,at-list Nama Anda, and jangan anonymous melulu!!!! , Terimah kasih sobat...

 

Komentar Terbaru

Ikmalaysia Followers