Wednesday, September 10, 2008

Cerita Asyik

Oleh: Imam Asnawi

Siang itu udara terasa panas. Matahari bersinar begitu cerah. padi yang menghijau di sawah yang luas tampak bergoyang-goyang ditingkah angin yang berhembus sepoi-sepoi, seakan-akan menari-nari, seiring alunan seruling pengembala yang terdengar merdu. Gemercik air sungai yang tampak jernih, setia mengaliri sawah hari demi hari, memberikan kehidupan bagi para petani. Jalan kampung yang belum diaspal tampak sedikit berdebu. Seorang anak kecil terlihat berjalan seorang diri ditepi jalan yang berdebu itu. Dia lebih memilih berjalan di tepi sungai dan kadang berhenti, menceburkan kakinya yang kecil kedalam sungai, duduk di tepinya sejenak dan kemudian kembali berjalan.

Tangan kirinya memegang dua buah plastik dan sepasang sepatu. Tangan kanannya asik membelai padi-padi yang subur di tepi sawah sepanjang perjalannya, seakan-akan padi itu adalah kawannya. Terkadang dia berjalan sambil melompat-lompat riang seolah takmerasakan panas yang memanggang. Entah hal apa yang membuatnya merasa senang. Dia bersiap turun kesawah, mengambil jalan pintas menuju kekampungnya seperti yang dia lakukan sehari-hari.Jalan-jalan kecil yang menjadi pembatas antara sawah-sawah itu memang lebih dekat dibandingkan jalan biasa, tapi biasanya agak becek dan licin. Baru saja dia menginjakkan kakinya di sawah, sebuah suara memanggilnya.

“ hei.. adik kecil, sini !”.
seorang gadis berjilbab denganseragam SMA tampak melambaikan tangannya.
Yang dipanggil agak ragu untuk datang melangkah. Dia merasa tidak pernah mengenal gadis itu. Malu-malu dia datang mendekati orang yang memanggilnya itu. Gadis berjilbab itu tampak tersenyum melihat raut muka dan tingkahnya yang lugu.

“ nama adik siapa..? ”.
“ jeneng kulo Ali..! “. Jawabnya pelan dan seperti biasa dengan bahasa jawa yang halus.
“ hmm..Ali.. kenapa Ali sendirian saja..? kawan-kawan Ali mana..?”. tanya gadis itu dengan suara yang lembut diiringi senyum kecil yang terlihat manis namun bersahaja.
“ mereka dijemput oleh ibu mereka. Kawan yang kelas dua belum pulang..!”. jawabnya dengan nada datar.
“ terus.. ibu Ali kemana ? kok tidak menjemput Ali ? ”.
“ ibu Ali bekerja disawah. Ibu juga tidak punya sepeda “.
“ o.. begitu.. rumah Ali dimana..? ”.
“ di Ringin Wetan kak..”.
“ lho.. kakak juga dari sana. Kok kakak tidak pernah melihat Ali ya..? “.
Gadis itu menunjukkan ekspresi sedikit terkejut dan senang. Tapi anak kecil yang ada didepannya itu tidak menunjukkan ekspresi apapun, hanya menunduk melihat kakinya yang agak kotor oleh lumpur. Melihat hal itu, gadis berjilbab itu kembali tersenyum.
“ Ali.. kok diam saja..? Ali takut ya sama kakak..?. apa kakak kelihatan kayak orang jahat..? “.
Yang ditanya hanya menggelengkan kepala. Gadis itu mulai bisa mengerti sikap Ali dan diam-diam ada rasa iba dihatinya.
“ Ali..!. coba angkat muka Ali, lihat kakak ! “.
Sekilas Ali mengangkat mukannya dan secepat kilat dia kembali menunduk saat melihat gadis berjilbab itu menatap tajam kearahnya.
“ ha..ha..ha.. kamu itu lugu banget ya Ali..! “. Gadis itu tidak sanggup menahan geli melihat tingkah anak kecil didepannya itu.
“ hey, Ali. kamu ndak ingin tahu nama kakak..? “.
Ali mengangguk.
“ berarti Ali tidak ingin tahu nama kakak ya..? “. Gadis itu mencoba bercanda. Ali menggeleng tanda tidak setuju.
“ heh.. coba Ali ngomong.. jangan pakai bahasa isyarat kalau bicara sama kakak ! ”.
Ali masih terdiam. Perlahan dia mengangkat mukanya namun secepatnya dia kembali menunduk saat melihat gadis didepannya yang masih menatapnya dengan tajam seperti sebelumnya.
“ Ali ingin tahu nama kakak..! “. Kata Ali pelan
“ nah.. bagitu. itu baru namanya anak pinter..”.
Gadis itu agak menundukkan badannya, mengulurkan tangannya kepada Ali. ragu-ragu Ali menyalaminya.
“ nama kakak Fitriani. Panggil saja saya kak Ani..! “.
Ali menganggukkan kepala. Gadis yang bernama kak Ani menatap Ali, menunjukkan kalau ada yang salah dengan sikap Ali. Ali segera sadar dan berkata
“ iya kak Ani..! “. Ani tersenyum mendengar jawaban Ali.
“ sekarang Ali cuci kaki Ali di sungai dan pakai sepatunya !. plastiknya biar kakak yang bawa “.
Ali pun pergi ke sungai untuk membersihkan kakinya. Ani memasukkan plastik milik Ali kedalam kerenjang yang berada di bagian depan sepedanya bersama dengan tas miliknya. Sejenak dia memperhatikan isi plastik itu. Ada beberapa buku tipis, sebuah pensil yang diruncingi kedua ujungnya, sebuah penghapus yang sudah hampir habis dan sebuah mangkuk kosong di dalam plastik yang satu lagi. Ali sudah selesai membersihkan kakinya dan memakai sepatunya dan kemudian naik di atas boncengan sepeda Ani. Dalam hatinya dia merasa sangat senang. Ani mulai mengayuh sepedanya perlahan. Sepanjang perjalanan pulang itu, Ani bertanya banyak hal kepada Ali. Sikap Ani yang ramah dan pandai bercanda membuat Ali yang biasanya pendiam dan agak susah akrab dengan seseorang kini sudah mulai akrab dan malah sudah berani bertanya. Hal yang membuat Ani agak terkejut adalah kenyataan bahwa Ali adalah anak pak Rahmat, orang yang pernah dia kenal dulu. Ada rasa bersalah dihatinya yang hingga kini masih membebani hatinya. Dia tidak sempat meminta maaf kepada pak Rahmat karena pak Rahmat terlanjur pergi merantau saat itu.
Ani adalah anak bungsu dari pak Barja, orang terkaya dikampung Ringin Wetan. Saat itu, dia baru pulang dari pesantren karena liburan. Dia sedang menyapu halaman rumahnya sore itu. Walaupun pak Barja memiliki pembantu rumah yang bertugas membersihkan halaman, tapi Ani suka melakukannya. Saat itulah pak Rahmat datang seorang diri, menanyakan apakah ayahnya ada dirumah. Ani belum terlalu mengenal pak Rahmat saat itu. Dia menyuruh pak Rahmat supaya masuk saja keruangan tamu karena ayahnya ada disana dengan beberapa tamu. Ani merasa kurang begitu suka terhadap sikap tamu-tamu itu dan dia mengira pak Rahmat adalah salah seorang kawan mereka. Diapun melanjutkan pekerjaanya menyapu halaman. Diam-diam dia memperhatikan sikap pak Rahmat yang terlihat agak sungkan dan ragu-ragu untuk memasuki rumahnya. Pak Rahmat melepaskan sandal jepitnya ketika sampai di depan pintu. Ani agak heran karena biasanya penghuni rumah besar itu selalu memakai sandal di dalam rumah yang berlantai keramik itu. Ani sadar kalau pak Rahmat bukan salah satu dari tamu ayahnya yang sikapnya kurang enak itu. Dia meletakkan sapunya, menyandarkannya pada sebuah dinding dan kemudian mendekati pak Rahmat yang tampak ragu untuk memasuki rumahnya.
“ maaf pak. Siapa nama bapak tadi..? “.
“ pak Rahmat, non..dulu bapak pernah bekerja disini, dirumah ini. Tapi saat itu non Ani masih kecil, jadi.. mungkin non Ani tidak ingat “.
Ani merasa tidak enak karena sempat mengacuhkan pak Rahmat tadi yang ternyata orangnya sangat ramah, malah terlalu ramah menurut Fitriani. Terlebih-lebih pak Rahmat ternyata sudah mengenalnya dan memanggilnya non Ani. Tidak banyak yang memanggilnya dengan nama itu, karena orang-orang di kampungnya dan kawan-kawannya memanggilnya dengan nama Fitri.
“ oh.. maaf pak Rahmat, saya benar-benar tidak ingat !”.
“ wah.. ya ndak usah minta maaf non..! ya wajar to kalau non lupa. Nha..kalo non Ani tidak lupa ya malah tidak wajar namanya..ya to..? ”. canda pak Rahmat berhasil membuat Ani tertawa kecil.
“ pak Rahmat, sandalnya dipakai saja, tidak usah dilepas “.
“ wah.. jangan non..! nanti lantainya jadi kotor “.
“ ndak apa-apa pak..! kami memang biasa memakai sandal di dalam rumah..”. Ani menjelaskan.
Akhirnya pak Rahmat pun memakai kembali sandalnya setelah beberapa kali menolak karena merasa tidak enak dengan Ani.
“ saya lihat pak rahmat dari tadi hanya berdiri didepan pintu saja, ada apa sih pak..? apa rumah saya ada hantunya ..? “. Ani memang suka bercanda, karena itu dia mudah akrab dengan siapa saja.
“ wah.. ya ndak to, non. Bapak cuma segan mau masuk. Rasanya kok agak lancang begitu kalau bapak langsung masuk “.
“ kalau begitu biar Ani antar “.
“ wah..jadi ngrepotin non Ani.. “.
“ ndak apa-apa pak, saya tidak merasa dirapotin kok..!”.
Ani mempersilahkan pak Rahmat untuk masuk. Rumah Pak Barja memang cukup besar sehingga tidak bisa dilihat dari pintu kalau ada tamu di ruang tamu. Pak Rahmat yang tidak tahu kalau ada beberapa orang tamu di ruang tamu itu hampir saja melangkahkan kakinya kedalam ruangan itu, tapi Ketika dia melihat tamu-tamu itu, seketika dia berhenti dan mengurungkan niatnya untuk menemui pak Barja.
“ lho.. pak Rahmat, kenapa kok malah berhenti ..? ”.
“ sepertinya pak Barja sedang ada tamu.. lain waktu saja non bapak kesini lagi “.

0 comments:

Post a Comment

Kepada rekan-rekan yang kami hormati,Silahkan berkomentar dengan baik dan Sopan di form Komentar dibawah ini, karna kita sama-sama tahu kalau setiap panca indra yg kita miliki akan di mintai pertanggung jawaban kelak di akhirat nanti, O ya Klo rekan-rekan sekalian berkenan memberikan Komentar jangan lupa Kasih identitas,at-list Nama Anda, and jangan anonymous melulu!!!! , Terimah kasih sobat...

 

Ikmalaysia Followers