Info Penting

Wednesday, July 1, 2009

“PEMILIHAN UMUM” Antara Maslahat dan Tuntutan Syariat

Oleh: Khairil Anwar
    
  Pemilihan umum executive tinggal menghitung jari, para Capres dan Cawapres siap dengan strateginya masing- masing. Provokasi dan dan propaganda adalah hal yang wajar dalam kondisi disaat ini, dalam usaha mengambil hati rakyat indonesia. Dengan capability dan confidence yang mereka miliki, mereka maju kehadapan mewakili ratusan juta umat dengan membawa sejuta harapan ingin membawa perubahan.

Pesta yang dikenal dengan pesta demokrasi aspirasi ini bukan hanya terkhusus untuk kalangan ningrat dan aparat akan tetapi pestanya seluruh lapisan masyarakat, inilah indahnya sebuah demokrasi.


 Akan tetapi masih ada segelintir masyarakat yang kurang open (jawa) akan pentingnya sebuah demokrasi, segelintir golongan ini bukanlah hanya dari golongan yang tidak pernah mengecap dunia pendidikan, akan tetapi juga dipelopori oleh kalangan terpelajar dengan memilih abstain sebagai pilihan.

Dan fenomena kian maraknya prilaku abstain dalam setiap pemilihan umum ini didorong oleh faktor politis dan faktor ideologis. Faktor politis, mereka beranggapan bahawa tidak ada calon dalam pemilu yang sesuai dengan aspirasi, harapan dan keinginan mereka dalam mewujudkan kehidupan masyarakat yang sejahtera, sehingga abstainlah menjadi pilihan mereka. Adapun faktor ideologis, golongan yang memilih abstain sebagai pilihan berkeyakinann bahwa ikut serta dalam pemilihan umum adalah haram hukumnya dan mereka dasarkan keyakinan ini atas pandangan ulama.

Kalau kita melihat kembali padangan ‘ulama akan hukum keikut sertaan dalam pemilihan umum, tentunya tidak seluruh ulama’ mendukung dan bersetuju atas keharaman berpartisipasi dalam pemilihan umum. Artinya para ulama berbeda pendapat tetang hal ini, dan perbedaan pendapat para ulama’ mengenai hukum keikut sertaan dalam pemilihan umum ini terdapat dua pendapat :

Pendapat pertama: ulama’ as-salafiah, golongan ulama ini mengharamkan ikut serta dalam pemilihan umum dan ini dikarenakan pemilu merupakan perwujudan dari sistem demokrasi dan sistem demokrasi bukanlah sistem islami (kafir). Dan kedua–dua system ini saling bertolak belakang dari segi asas dan masdarnya. Sebagai contoh dalam sistem demokrasi dikatakan bahwa\\\" السيادة والسلطان للأمة أو للشعب \\\"kekuasaan tertinggi terletak ditangan rakyat ataupun ummat, dan implementasi dari bentuk kekuasaan rakyat dalam menetukan sebuah urusan dan masalah diantaranya adalah pemilihan umum. Sedangkan dalam sistem pemerintahan islam\\\" السيادة لشرع \\\" و \\\" السلطان للأمة \\\" .

kekuasaan tertinggi diberikan dan di ladaskan berdasarkan sya’riat sedangkan kekuasaan umat dibawah naungan syariat artinya kekuasaan ummat dibatasi oleh kekuasaan syariat. Jadi secara tidak langsung, ikut serta dalam pemilu berarti kita mengakui sistem kafir dan ini termasuk dalam hal yang menafikan keimanan.
Pendapat kedua: jumhur ulama, golongan ulama ini memperbolehkan bahkan menganjurkan untuk bermusyarokah dalam pemilu, karena bukan berarti dengan ikut serta dalam pemilihan umum kita harus mengakui bahwa sistem demokrasi lebih baik dari pada sistem Islam, akan tetapi; pembolehan ini didasarkan atas beberapa alasan yang pertama: kemaslahatan yang terdapat didalam pemilihan umum kedua: pemilihan umum adalah sarana melakasanakan amru bil ma’ruf wa nahyu an al-munkar ketiga: pemilihan umum juga seiring dengan tuntutan syaria’h.

Dan inilah pendapat yang rajih  Syariah telah menegaskan sebagaimana termaktub didalam al-quran dan hadist akan urgensi seorang pemimpin dalam sebuah negara, dan ini bisa kita lihat melalui perintah syariat dalam mentaati ulil amri setelah metaati allah dan rasullnya sebagai mana allah berfirman “ hai orang- orang beriman taaitilah allah, rasul dan para pemimpin kamu” secara mafum muafaqahnya dalam koteks ayat ini menyatakan bahwa selain kita dituntut untuk mentaati pemimpin juga kita dituntut terlebih dahulu untuk memilih seorang pemimpin karena kita tidak akan disuruh untuk mentaati kepada seorang pemimpin sedangkan pemimpin itu tidak wujud, jadi secara ringkasanya ayat ini mengandung dua makna perintah menentukan seorang pemimpin dan perintah mentaati seorang pemimpin.

Dan berkenaan dengan pemilihan seorang pemimpin, didalam al-quran dan hadis tidak akan kita dapati ayat yang menjelaskan akan sistem dan tata cara pemilihan pemimpin, akan tetapi syariat hanya menetapkan asas–asas ( mabadi’ ) yang harus dipenuhi dalam iktiar al-khalifah ataupun pemimpin dan adapun bentuk dari sistem ikhitar tersebut islam memberikan kebebasan kepada umatnya.

 Dan ketiadaan system ini didalam syariat bukan berarti islam tidak mencakup dari hal yang demikian dan hanya mengatur hubungan hamba dengan tuhannya, akan tetapi ada hikmah yang terkandung disebaliknya. Dan ketiadaan system ini menyebabkan timbulnya perbedaan sistem pemilihan pemimpin dari masa ke masa. Dan perbedaan ini dapat kita lihat terhadap perbedaan system ikhtiar al-khalifah(pemimpin) setelah kewafatan rasul yang dikenal zaman khulafa ar-rasyidin dan zaman kerajaan abasiah dan umaiah yang mana terdapat 4 cara sebagaimaa berikut:

1. al-intikhab
Dalam sistem ini, pencalonan, pemilihan dan pelantikan pemimpin hanya akan dilaksanakan setelah kewafatan pemimpinya dan proses pencalonan dan pemilihan hanya diberikan kepada ahli hilli wa al-aqdiأهل الحل والعقد ( legislative), karena hanya merekalah yang mengetahui dirayah dan syahsiah seorang pemimpin, baik itu dirayah as-siasiah , ad-diniah wa al-ilmiah wa tsaqafiah. Sistem ini berlaku dimasa pengangkatan abu bakar as-siddiq sebagai khalifah setelah kewafatan rasul SAW dan juga ali bin abi thalib setelah wafatnya usman bin affan.

2. al-istikhlaf
Dalam sistem ini, pencalonan dan pemilihan pemimpin telah dilaksanakan dimasa kepemimpinan khalifah atau imam pada masa itu, akan tetapi pelantikanya hanya akan dilaksanakan setelah wafatnya imam tersebut. Sistem ini berlaku dimasa pelantikan khalifah umar sebagai imam al-ummah, yang mana saidina umar menerima wasiat dari saidina abu bakri untuk memimpin umat setelah sepeninggalannya nanti.

3. al-ikhtiar
Adapun dalam sistem ikhtiar ini, daftar nama–nama calon yang akan menggantikan imam yang memimpin pada masa itu sudahlah disiapkan, tinggal lagi pemilihann serta pelatikannya hanya akan dilaksanakan setelah sepeninggalan imam tersebut. dan hak memilih calon pemimpin hanya diberikan kepada ahlu ikhtiar أهل الحل والعقد ( legislative), bukan kepada semua khalayak ramai. Dan sistem ini berlaku pelaksanaannya dikala ketaulian kalaifah ustman bin affan menjadi khalifah yang ke-tiga.

4. al-waratsah
Dalam sistem ini, tahta kepemimpian diberikan secara turun temurun atau lebih dikenal dengan sistem waris tahata seperti dalam sistem monarchy absolute. System ini berlaku dimasa kerajaan umaiyah dan abasiah.
Begitulah gambaran bentuk dari sistem pemilihan pemimpin sepeninggalan Rasulallah SAW, yang mana sistem ini dibuat atas kebijakasanaan umat pada masa itu demi mencapai kemaslahatan bersama. Jadi apakah bentuk sistem pemilihan pemimpin yang sesuai pada masa sekarang ini ?. Syekh Abdul Aziz Izat Al-khiyat berpendapat bahwa sistem intikhab adalah sistem yang sesuai, akan tetapi syekh Al-khiyat menambahkan pentingnya keikut sertaan seluruh umat dari seluruh lapisan masyarakat dalam proses pemilihan pemimpin seperti pelaksanaanya pada masa sekarang ini dan bukan hanya diberikan kepada orang-orang tertentu saja seperti kepada ahli hilli wa alaqdi ( legislative), dan karena tujuan asal dari diadakannya intikhab itu adalah proses dalam menilai keridhaan ummah terhadap calon yang bakal memimpin,apakah seorang calon itu di terima dihati rakyat ataupun ditolak.

Dari sini dapat kami simpulkan bahwa pemilihan umum adalah suatu proses pemilihan yang sesuai dengan maslahat dan tuntutan syariat. Adapun kemaslahatan yang dapat diambil dari proses pemilihan umum diantaranya: Pemilihan umum sebagai barometer mengukur keridhaan ummat terhadap calon yang akan memimpin dan keridhaan ummah terhadap siapa yang akan memimpin adalah hal sangat penting bagi diri seorang pemimpin dalam menjalankan tampuk kepemimpinan. Selanjutnya Pemilihan umum adalah sebuah wahana dalam beramar ma’ruf dan mencegah kemungkaran, ini dapat dilaksanakan dengan cara menggunakan hak suara kita untuk memilih calon yang layak, yang akan memperjuangkan kemaslahatan umat dan mencegah jatuhnya tampuk kepemimpinan ketangan orang yang durjana yang akan mempora-porandakan kepentingan ummah. Sekian dan terima kasih .
Penulis : Mahasiswa S1 fakultas usul al-fiqh Universiatas Islam Antarabangsa Malaysia

7 comments:

Anak UIA said...

Semoga pemilu tahun ini lebih baik dari sebelum2nya karna klo tidak apa kata dunia...

Firex said...

bentar lagi pemilu... mari kita ikut milih calon president kita yang terbaik...

Robby said...

Kayaknya Anak IKMA banyak yg golput ne....Termasuk ANe..hehehhe.....

Anonymous said...

SELAIN DUA FAKTOR TU ( POLITIS DAN IDEOLOGIS ) YANG MENYEBABKAN GOLPUT, KAYAKNYA ADA BANYAK LAGI DEH... CONTOHNYA, GA ADA UANG BUAT PERGI KETEMPAT NYOBLOS ATO GA TAU NYOBLOSNYA DIMANA.
KALO SAYA, MALES AH... UDAH JUTAAN YANG NYOBLOS. KALOPUN NYOBLOS TAKUT DICURANGI.

kangbari said...

alhamdulillah udah nyontreng...semoga pemimpin kedepan benar-benar menunaikan amanah yang sudah diberikan..

franky said...

award buat anda, bisa diambil pada blog aku.sukses selalu

Blog Kang Robby said...

Belom ngoblos aja SBY udah Menang apa lagi Aku Coblos......

Post a Comment

Kepada rekan-rekan yang kami hormati,Silahkan berkomentar dengan baik dan Sopan di form Komentar dibawah ini, karna kita sama-sama tahu kalau setiap panca indra yg kita miliki akan di mintai pertanggung jawaban kelak di akhirat nanti, O ya Klo rekan-rekan sekalian berkenan memberikan Komentar jangan lupa Kasih identitas,at-list Nama Anda, and jangan anonymous melulu!!!! , Terimah kasih sobat...

 

Komentar Terbaru

Ikmalaysia Followers