Info Penting

Thursday, September 17, 2009

Di Lipatan Sajadah Ramadhan (Bag 3)

Ternyata mereka bersepakat ingin aku pulang, karena sudah empat tahun aku tidak lebaran di kampungku, barusaja aku pulang dari tanah Jawa, ingin aku melamarnya, tapi aku hanya seperti bajingan, karena dia sudah terlanjur dekat dengan kawanku sendiri yang sudah aku kenal sejak SD.

Sewaktu nonton TV aku tidak tahu kenapa mataku lekat tidak bisa terbuka, padahal aku baru saja mengecas HP ku, dengan setengah sadar setengah tidak aku melangkah menuju kamar, kamar yang disediakan keluarga temanku itu cukup untuk menhantarku ke selat impian. Acara konsert live Westlife malam itu berlalu saja tanpa aku, ah... sayang sekali padahal tidak selalu aku mendapatkan kesempatan seperti itu, lagu If I let You Go menawan mataku, akibatnya mataku sudah tidak bisa diajak kompromi lagi.

Kembali aku menemuinya malam itu, kulihat dia tersenyum padaku, tapi di belakangku ada teman ku yang juga memandang kearahnya, aku tak tahu senyum itu untuk siapa, aku merasa aku menjadi penghalang mereka. Soal kecewa jangan lagi ditanya, yang jelas aku juga ingin memilikinya.

Sayup-sayup kudengar ada suara yang sedang bertanya-jawab, seketika itu impianku buyar, agaknya tidurku masih dalam fasa kedua atau tiga dan belum masuk ke fasa rapid eye movement, sehingga otakku gampang saja menerima rangsangan ketika ada yang menarik perhatianku.

Aku kenal suara itu dan aku tahu dari mana asalnya. Aku meloncat dari amben dan spontan bertanya kepada ayah kawanku,
Sinten pak?” (Dari siapa pak)
“Katanya temanmu” Pak Marjan menghulurkan HP pada ku.
“Assalamualaikum”
“Waalaikum salam, kamu lagi di Dayun ya?”
“Iya ada apa Ed?” Kelihatannya Edi sudah bertanya ke Pak Marjan keberadaanku, karna aku tidak mungkin akan memberitahunya nanti.
“Seharusnya aku yang tanya sama kamu Is, kenapa kamu minggat begitu saja? Kmu tidak seharusnya bersikap seperti itu, kasihankan Ibu kamu? Kmu ada masalah apa? Kenapa kamu tidak cerita ke aku kalau kamu tadak berani cerita sama keluargamu?”
Ku biarkan Edi ngomel sampai tiga depa panjangnya, aku diam saja, mungkin dia tidak akan percaya dengan perasaanku, toh dia yang membuat aku begini.
“Apa Ibuku yang nyuruh kamu telpon aku, atau masku?”
“Masmu “

Ternyata mereka bersepakat ingin aku pulang, karena sudah empat tahun aku tidak lebaran di kampungku, barusaja aku pulang dari tanah Jawa, ingin aku melamarnya, tapi aku hanya seperti bajingan, karena dia sudah terlanjur dekat dengan kawanku sendiri yang sudah aku kenal sejak SD.


Setelah kuselidiki nantinya, Edi di suruh oleh masku untuk menelpon aku, karena masku sedikit sebanyak mengerti perasaan ibuku. Meski tidak diucapkan melalui kalimat, ibuku menyimpan rahasia dengan dia. Sebelum masku menyuruh Edi untuk menelponku, ia memberi tahu tentang kekaburanku. Waktu itu aku seperti buronan, lalu Edi menceritakan kepada dia. Dia lalu mengerti sebenarnya ini semua adalah salah faham. Dia yang merasa bersalah lalu mendatangi ibuku dan mengatakan sebabnya aku meninggalkan rumah.

Hampir satu jam aku berbual dengan Edi malam itu, akhirnya kalimat yang seperti sebuah jimat Edi menasehatiku,
“Semuanya sudah ada yang mengatur Is, percaya saja sama Yang di Atas. Kasihan Ibu kamu, pulanglah karena sebentar lagi mau lebaran”
“Baiklah, besok juga aku pulang” ku kubur dalam dalam dan ku ketepikan kekecewaanku, untuk hati Ibu.

Sekitar jam sepuluh pagi, aku sudah siap mandi, ingin sekali aku habiskan pagi ini dengan menyambung tidur lagi, tapi apa kata tuan rumah nanti, di rumahku saja aku tidah pernah tidur pagi setelah subuh, aku teringat almarhum ayahku pernah memberitahu aku, sederhana saja bahwa tidur pagi itu manjauhkan aku dari rezeki.

Aku duduk di teras sambil ditemani Marsani, Ia memilih untuk diam semenjak aku mengutarakan niat untuk pulang pagi ini.

 Marsani mengerti tugasnya untuk manghantar aku ke simpang jalan besar untuk menyetop bus mini. Dia lalu mengeluarkan motornya dan memeriksanya sambil sedikit mengelap sepeda motor tersebut.

Selang beberapa menit ada suara sepeda motor lain kian mendekat, Ibu Marsani pulang dengan belanjaan di obrok belakangnya. Entah jam berapa beliau keluar pagi tadi, aku tidak melihatnya. Sambil membuka topeng muka yang di gunakan untuk penghalang debu, beliau lalu mengabari Marsani,
“Gula di kadai Ah tiong 5.500 Rupiah San, nggak biasanya” sepertinya kalimat itu sudah dihapalnya sewaktu di perjalanan tadi.
Kok mahal mak” respon Marsani tidak ingin Ibunya bicara sendiri, padahal aku yakin dia tidak tahu persis harga tolak gula yang dijual di warungnya.
“Emak tancap ke kedai Ah pek, ternyata di sana cuma 5.450 Rupiah”
Whalah 50 perak aja emak milih yang lebih jauh tiga kilo meter?” setengah bertanya Marsani meledek ibunya.
“50 perak kali 50 kilo San, kamu ini sepele, ga tau orang dagang”
Ibu Marsani memang sangat perhitungan orangnya, meski tidak pelit tapi beliau sangat teliti, kalau pun barang itu bukan untuk di jual lagi, keperluan hariannya pun di beli setelah melalui seleksi harga-harga seantero pasar, ketelitian itulah yang membawa Beliau dan Pak Marjan memenuhi panggilan Illahi ketanah suci tahun lalu. Banyak orang bilang, kalau orang dagang itu pasti pelit, tapi tidak dengan Ibu Sunarti, beliau masih dapat membedakan mana sedekah dan mana jualan.

Lho-lho kok ada tas segala mau kemana ini Ismail Amrullah” Ibunya Marsani selalu memanggilku dengan nama penuh pemberian orang tuaku semenjak beliau mengenalku.
Bade mantuk bu” (mau pulang bu)
Kok mantuk piye?” (Pulang bagaimana maksud kamu?)
“Ibu bade kirim dungo selametan” (Ibu mau mangadakan acara selamatan) setiap lima waktu, aku yakin Ibuku selalu mendoakan kesejahteraan leluhur dan almarhum bapakku, jadi alasan itu bukan bohong kukira.
“Tak pikir kamu mau tinggal dulu sehari atau dua hari lagi di sini, yo wes mengko kirim salam kanggo Ibu mu yo” (ya sudah, sampaikan salam untuk Ibumu”
Enggeh bu, Insya Allah” (Iya bu,Insya Allah)

Setelah mencium tangan Ibu Sunarti dan Pak Marjan, aku lalu meniggalkan kampung itu untuk sementara, aku yakin aku akan datang lagi suatu saat nanti, karena aku sudah terlanjur menganggap mereka seperti orang tuaku sediri.

Bersambung...

*Obrok (Jawa): Keranjang yang mudah dibongkar-pasang di sepeda motor, diletakkan di tempat duduk belakang, digunakan untuk mengangkut barang.
*Perak:  Kata ini diigunakan untuk menggantikan kata Rupiah dalam percakapan orang Jawa, biasanya disebut untuk nominal yang kecil.

0 comments:

Post a Comment

Kepada rekan-rekan yang kami hormati,Silahkan berkomentar dengan baik dan Sopan di form Komentar dibawah ini, karna kita sama-sama tahu kalau setiap panca indra yg kita miliki akan di mintai pertanggung jawaban kelak di akhirat nanti, O ya Klo rekan-rekan sekalian berkenan memberikan Komentar jangan lupa Kasih identitas,at-list Nama Anda, and jangan anonymous melulu!!!! , Terimah kasih sobat...

 

Komentar Terbaru

Ikmalaysia Followers