Info Penting

Thursday, September 17, 2009

Di Lipatan Sajadah Ramadhan

Oleh: Ahmady

Shoalat tarawih baru berjalan empat rekaat, waktu itu tiba-tiba angin bertiup sangat kencang, membuat panik anak anak yang solat di barisan belakang. Semua mmengomel-ngomel “Angin, angin, hujan, hujan” ku lirikkan mata, mereka ada yang berdesak-desakan mengatur kembali posisinya yang sedari tadi semrawut. Ada yang tolak-menolak, masing-masing ingin membetuli diri, seolah merasa bersalah terhadap tuhan, karena solat sambil main-main. Sehingga tuhan menurunkan hujan dan angin ribut, sebagai teguran terhadap tingkah laku mereka. Itu lah yang berputar di kepala mereka.


Diam-diam aku pun ikut panik, betapa tidak, atap zeng dibuatnya berbunyi-bunyi. Tabir penghijab antara jamaah putra dengan jamaah putri pun tersibak keatas, hinga menyentuh lampu neon yang di gantung agak rendah, kepalaku saja sampai padanya.

Aku yang tadinya kepanasan, kini tidak lagi, justru kedinginan tertiup angin yang lewat dari celah-celah dinding yang agak jarang. Hatiku risau “Jangan-jangan akan terjadi apa-apa” ada- ada saja.

Anak-anak kembali sibuk, dan berebut tempat menghindar dari bocoran, ketika kembali kulirik, mereka suadah berbaris rapi tanpa suara, sepertinya mereka juga merinding dengan keadaan itu.

Tiba-tiba teringat oleh pikiranku ketika seusia mereka, saat waktunya solat terawih pasti sibuk dengan pena dan buku, kononnya untuk catatan amaliah romadhon. Ya, namanya juga anak SD,harus ikut apa kata guru, entah apa faedahnya, aku pun tak ambil pusing waktu itu. Apa yang aku tahu, mencari tanda tangan sebanyak-banyaknya, supaya ketika selesai ramadhan, buku tersebut bisa di setor ke guru. Setelah diadakannya evaluasi, bagi yang rajin salat tarawih- atau yang rajin datang hanya sekedar untuk mencari tanda tangan pun- biasa nya mendapat imbalan dari guru, bahkan mereka akan memberikan sejenis piagam penghargaan, yang membuat bangga. Begitulah beberapa tahun dahulu, masa-masa penuh ceria yang tak kan mungkin akan kutemukan lagi.

Malam itu, malam kedua aku shalat tarawih di masjid itu. Masjid seukuran 20 kaki persegi yang cukup memberiku ketenangan. Konon nya masjid ini berdiri belasan tahun yang lalu, praktis saat berdirinya dusun ini, dusun Bangun gajah yang jauh dari keramaian kota. Masjid Nurul Iman itu tak tersentuh pembangunan sejak berdiri untuk yang pertama kali, tak juga mendapat perhatian pemerintah daerah. Padahal rumah-rumah di sekelilingnya telah lebih tinggi dan besar dari masjid itu sendiri, dari pada rumah-rumah transmigrasi belasan tahun lalu.



Meski begitu, sebenarnya dusun itu jauh dari istilah daerah terisolasi. Karena, meski jauh di dalam, akan tetapi jalan nya licin oleh roda-roda pengangkut kelapa sawit. Selain penghasil kelapa sawit terbesar di kecamatan Dayun, tempat itu memiliki air yang sangat jernih seperti air botol aqua. Itu yang membuat aku betah disana.

Aku lari meninggalkan rumah, karna aku merasa kecewa dengan seseorang. Dia tidak pernah menganggap keberadaan ku, aku bersikap bisu terhadap siapa saja yang ada di rumahku, padahal dibulan puasa kami selalu makan sahur dan buka bersama, tapi kali ini aku hanya mengambil jatah ku dan memakannya di dalam kamarku. hingga suatu hari ibuku menjadi mangsa kekecewaanku, tentunya sebagai anak yang tak ingin melukai hati ibu, aku tak ingin itu berlarut. Sehingga pada suatu pagi, aku putuskan untuk pergi kerumah teman ku yang berjarak 2 jam perjalanan dengan minibus. Itu pun karena aku tak tahan mendengar tangisan ibuku semalaman. Ibu begitu prihatin terhadap ku, meski aku tak pernah mengadu, tapi beliau dapat menangkap kesedihan ku.

“ Kenapa Is kamu seperti ini?” Tangis ibu dipundak ku malam itu.

“Apa Ibu punya salah sama kamu? Ngomong Is... Jangan buat Ibu seperti ini”

Aku tak menjawab sepatah kata pun, sehingga basah punggung ku oleh tangisan Ibu, ”Maafkan Ismail Bu.. Is tidak bermaksud menyakiti Ibu, apa lagi sampai membuat Ibu menangis, tidak Bu.. sungguh tidak, Is pun tidak bisa mengatakan ini pada Ibu, berat Bu, seberat memikul gunung” aku hanya mengeluh di dalam hati membiarkan Ibu tersedu-sedu di pundakku.

Kenapa Ibu sangat merasa bersalah dengan sikapku? Begitu inginnya Ibu menghiburku, tapi semua tak berarti bagiku. Karna tak seorang pun mengerti hatiku. Ingin kucari obat itu di dusun sahabat karibku. Barang kali aku akan terhibur, atau sekurang-kurang nya menghilangkan rasa bersalah Ibu. ”Maafkan Is Ibu, tak biasanya Is meninggalkan rumah tanpa berpamitan dengan Ibu” Ku tekad menghibur diri dari keruntuhan hatiku.

Bersambung.. ..

0 comments:

Post a Comment

Kepada rekan-rekan yang kami hormati,Silahkan berkomentar dengan baik dan Sopan di form Komentar dibawah ini, karna kita sama-sama tahu kalau setiap panca indra yg kita miliki akan di mintai pertanggung jawaban kelak di akhirat nanti, O ya Klo rekan-rekan sekalian berkenan memberikan Komentar jangan lupa Kasih identitas,at-list Nama Anda, and jangan anonymous melulu!!!! , Terimah kasih sobat...

 

Komentar Terbaru

Ikmalaysia Followers