Info Penting

Thursday, October 1, 2009

Di Lipatan Sajajadah Ramadhan (Bag 4)


Oleh: Ahmady
Setelah dua jam menjaring matahari melalui jendela kaca bus mini, akhirnya aku sampai di desaku, aku hampir lupa untuk mengucapkan selamat tinggal kepada gadis yang duduk di sebelahku, melainkan hanya tahu namanya Irma, dan memperkenalkan namaku. Dari obrolan singkat tidak lebih 25 menit itu kutangkap kedewasaan melebihi usianya.

Aku turun setelah menyerahkan ongkos kepada sopir dan berterimakasih atas jasanya. Rasanya lebih lama kali ini aku meninggalkan kampung halaman, melebihi waktu aku pulang untuk pertama kali dari tanah Jawa, agaknya nostalgia baru akan ku mulai dari detik ini. Di antara kerikil yang berserakan di atas jalan menuju rumah ku, kucari-cari celah untuk kusembunyikan wajahku dari orang-orang di sekelilingku.

Kepada Dewi, yang selalu berfigur “dia” setiap kali aku mengalamatkan namanya, aku malu karna aku terpaksa membuat dia tahu perasaanku. Kepada Edi aku seperti hama yang datang ingin merusak tanaman yang sekian lama ia pagari. Kepada kakakku, Ibuku, orang kampung, terlepas mereka tahu ataupun tidak tahu, jangan di pertanyakan lagi, malu kepada kedua orang itu saja cukup membuat duniaku sempit.

“Dari mana kang?” seseorang mengagetkan aku dari belakang.
“Mau pulang? Ayo naik, aku mau ke rumah Pak RK, kan melewati rumah sampean.”
Belum sempat aku jawab partanyaan yang satu dan yang berikutnya, dia lalu menyuruhku lompat ke tempat duduk belakang. Menyadari aku hanya diam selain mengucapkan terimakasih, dia lalu tidak dapat menahan perasaan ingin tahunya.
“Sampean tadi dari mana kang?” kali ini lebih lemah lembut.
“Dari Rumah teman, di Dayun. Barusan kamu bilang mau kemana Min?” Aku tidak ingin Amin bertanya macam-macam lagi.
“Mau ke rumah Pak RK kang, ada pembagian tugas untuk membantu Amil, malam Rabu kemaren ada musyawarah antara pengurus masjid, Amil dan pemuda RT satu, dua dan tiga.”
“RT satu, dua dan tiga saja?”
“Ia kang, yang bernaung di Masjid Sya’baniyyah. Ikut yuk kang, hanya beberapa orang kamaren yang bersedia, banyak yang lagi subuk, lagi pula Pak Mahmud Kemaren nanyain sampean, tapi sampeannya nggak ada. Dapat THR lho kang.”

Dua setengah meter Amin mempersuasi aku, sejanak ku tata kata-kata amin satu persatu, sebentar, kemaren ada musyawarah, ada Pak Mahmud, Imam shalat taraweh, ada THR, ah... mau kutaroh dimana lagi muka ku, karena ujung-ujungnya ada THR terus aku mengiyakan.
“Ah, aku mungkin agak sibuk Min, jadi sepertinya aku nggak bisa, maaf ya” Aku merasa malu, musyawarah tidak ikut, masa giliran ada THR di ujung cerita Amin, aku jadi ikut.
“Ya kang... tidak apa-apa. Sampai sini saja ya, buru-buru ni nanti ditunggu kawan-kawan”
Sepertinya Amin tidak mau orang lain menunggunya begitu lama, hmm... i’tikad yang baik, gumamku dalam hati.
“Aduh, ini sudah lumayan banget Min, Terimakasih banyak ya... oh iya, eh...”
“Kenapa kang?”
“Tidak, Cuma mau ngomong, hati-hait ya...” Apa masih layak aku kirim salam untuk Pak RK dan hadirin yang lain? Aku bertanya dalam hati. Hatiku juga yang menjawab ‘tidak’.
Tinggal hanya dua ratus meter menuju pintu rumahku, kelihatannya tidak ada siapa-siapa. Lebih baik Amin tidak menghantarku sampai di halaman rumah, tidak perlu ada kejadian penting, aku langsung menembus pintu dan menuju kamarku, kuletakkan tas dan kuraih handuk, lalu aku melangkah kekamar mandi setelah ku lepas pakaianku.
***

“Is, Ismail, bangun, kamu sudah asharan? Sudah hampir habis asharnya” Kakakku membuyarkan fantasiku.
Ya Allah, matahari sudah hampir menghilang, ku tatap jam dinding, 6.45 sore. Kain sarung yang tadi aku gunakan untuk shalat zuhur ternyata masih melekat di pinggangku, aku pulas di atas sajadahku, sukurlah sakit kepala yang tadi datang, sekarang sudah hilang dengan sendirinya. Secepat kilat aku mengambil wudhu, hanya tinggal sekitar satu setengah menit memasuki waktu diharamkan shalat, karena hanya tinggal kuning-kuning yang aku lihat. Tapi, asalkan Takbiratul Ihram-ku berada di hujung waktu yang halal, shalatku masih diterima meski nanti salamnya berada di waktu yang haram, begitu penjelasan Ibu Marfu’ah, garuwa guru ngajiku sewaktu di SMP.

Pak Hasan sendiri menerangkan panjang lebar tentang Shalat, kalau aku ketiduran sebelum waktu shalat, dan terbangun setelah habis waktu shalat tersebut, aku boleh meng-qadha setelah bangun, insya-Allah shalatku diterima, hal ini diperbolehkan meskipun tidak ada di zaman Rasulullah, menurutnya Fikih itu bukan mutlak dari Al-qur’an, kecuali ada totok-tombok dari para Ulama terdahulu.

Itulah sebabnya, Ahmad bin Hambal akan berpakaian biasa, kadang berwudhu, kadang tidak ketika mengkaji ilmu Fikih kepada Abu Abdillah Muhammad bin Idris. Berbeda ketika beliau menuntut ilmu Hadits, beliau akan memastikan mempunyai wudhu, berpakaian rapi dan serba putih, dan mengenakan sorban pengikat kepala. Baginya hal itu lambang penghormatan beliau terhadap ilmu Hadits di samping penghormatan kepada gurunya, Imam Syafi’i. Menurunya, ilmu Hadits mempelajari wahyu Allah sedangkan Ilmu Fikih lebih kepada ijtihad manusia. Tuhan lebih tahu...

“Ibu bikin bukaan apa hari ini?”
Sarat makna aku melontar pertanyaan kepada ibuku, di dalamnya aku bertanya kabar, memohonan maaf, dan mewartakan kesehatanku.
“Hm…, Bue bikin kolak pisang, sama bikin bakwan, jam berapa kamu nyampe tadi?”
Jawaban ibu yang disertai senyuman mengabarkan aku tentang kesehatannya, kemaafannya dan pertanyaan kabarnya kembali kepadaku, belum lagi menu yang beliau siapakan, praktis dia menyambut kedatanganku dengan suka cita. Entah bakwan kesukaan mas Yanto, atau kesukaanku yang ibu buat sore itu aku tidak ingin komentar,
“Jam satu, tadi habis sholat Zuhur langsung ketiduran. Ada yang belum siap bu...?”
“Sudah kok, tinggal nunggu nasinya tanak. Kamu ngaji aja gi, ibu sudah lama nggak dengar kamu ngaji”
“Ya sudah kalau begitu bu...”

Sedari tadi aku memang sudah menyentuh Qur’an, ingin mengkaji dan menderesnya, tapi wajah ibu kan sangat teduh dan sayang untuk tidak kusapa dulu. Akhirnnya aku turuti apa yang barusan dikatakan Ibu, dan sejurus aku ke Roma melewati Qur’an. Kembali ku tinggalkan ibu dan kamarku, aku mengujungi kerajaan Romawi di bawah kekuasaan Raja Heraclius melewati terjemahan dan tafsirnya.

Bersambung...
*Amil: pengurus masjid yang bertugas membagi zakat fitrah
*Garuwa: Istri kiai, guru, atau orang yang dihormati

1 comments:

OSHI said...

subhanallah..

Post a Comment

Kepada rekan-rekan yang kami hormati,Silahkan berkomentar dengan baik dan Sopan di form Komentar dibawah ini, karna kita sama-sama tahu kalau setiap panca indra yg kita miliki akan di mintai pertanggung jawaban kelak di akhirat nanti, O ya Klo rekan-rekan sekalian berkenan memberikan Komentar jangan lupa Kasih identitas,at-list Nama Anda, and jangan anonymous melulu!!!! , Terimah kasih sobat...

 

Komentar Terbaru

Ikmalaysia Followers