Info Penting

Wednesday, June 2, 2010

Ibuku Bernama Palestine

By: Ahmady

“Takbir…!!!” ALLAHU AAKBAR!!!” Takbir..!!!” ALLAHU AKBAR…”

Suara itu menghentam telingaku ketika imam baru saja selesai mengucap salam pertama shalat Jum’at. Club pendukung perjuangan bumi kudus Palestina mengadakan demonstrasi mengutuk penjajahan ‘Israel’ terhadap nyawa-nyawa tak berdosa Palestina. Para peserta demo memegangi spanduk bertuliskan “PALESTINE…! WE CARE”, “PALESTINE WILL BE FREE” dan banyak lagi kalimat-kalimat yang menyulut nyali jihad para pendemo. Tak kalah kalilmat berbahasa arab “KHAIBAR-KHAIBAR YA YAHUUD, JAISYU MUHAMMAD SAUFA YA’UD” sama persis yang di laungkan orator kemudian di sambut serentak oleh semua orang yang berkerumun di halaman masjid ini.

Tahun ini-tepatnya bulan Mei, genap 62 tahun penjajahan Yahudi terhadap kaum muslimin tepat di jantung jazirah. Usianya genap sebaya dengan ibuku. Wanita yang kekal bertahta dihati itu sejenak manyapaku, wajahnya yang telah kecut oleh usia dan sinar matahari kini meninggalkan sesudut harapan. Sesaat wajah itu terbawa hadir diruangan Masjid ini dibawa oleh angin surga yang dihembuskan oleh kipas angin Panasonic tak jauh berada di depanku.

Nikmatnya ketika aku dapat hadir lebih awal dari pada biasanya. Seampai di masjid, aku meluru ke bagian depan, Farhan, kawan yang tadi memboncengku kebagian bahagiaku kali ini ketika aku sampaikan bahwa hari Jum’at ini tidak seperti jum’at biasanya. Aku mengangguk ketika ia mengajakku berebut shaf yang terdepan. Wajah ibuku, kembali hadir ketika kipas angin kembali menghembusku, seakan ia ingin berkata “Apa kata ibu, Nikmat bukan, kali ini kamu seperti mendapatkan segunung emas, bukan saja seekor onta. kamu seperti medapat telur busuk kalau selalu hadir terlambat untuk sholat Jum’at. Apa lagi kalau khatib sudah naik ke mimbar, malaikat sudah menutup buku.”

“Sudah azan belum juga berangkat… pilih telur busuk daripada seekor onta ya?” begitu suaranya terngiang-ngiang di telingaku dengan nada geramnya. Namun hari jumat ini sepertinya menjadi hari yang sudah lama ia janjikan. Hari yang dihadiahkan senyuman buatku.

Tak dapat kupungkiri memang, ketika Khatib berseru kepada sekalian jama’ah untuk bertaqwa dan menghitung diri. Dilanjutkan dengan bab yang sama sekali tak terlintas difikiranku sebelumnya. Bahwa ada perbedaan antara kalimat ‘ba’athnakum dan arsalnaakum’ demikian pula perbedaan antara kalimat tajri tahtahal anhar yang ada di surat at-taubah dengan tajri mintahtihal anhar di surat-surat yang lainnya.

Sontak gelaran buat para shahabat radiallahu anhum wa radhuu’anhu itu menusuk-nusuk setiap pori-poriku mengalirkan air sungai dari surga yang diinjeksikan ke setiap nadi. Kepahamanku yang sangat minim tentang khutbah berbahasa arab cukup membuatku malu andai saja para shahabat yang di jamin surganya menontonku.

Mereka korbankan semuanya untuk mendukung Islam. Prihatin, bukan saja aneh ketika tidak satupun pemimpin dunia sekarang ini semulia Umar yang sangat perduli teradap rakyatnya hingga sanggup bergerilya di malam hari. Malu ketika tidak ada saudara sesetia Abu Bakar yang merogoh kantong membeli Bilal dan memberikan sebagian besar isinya untuk maula-nya. Itulah yang terjadi dengan keluargaku sekarang.

Khatib undangan dari Iraq itu menjelma seperti pesulap yang mengantarkan aku kesebuah tempat yang bersepadan antara masa lalu, masa kini dan akan datang. Masa itupun berterbangan membawaku mengunjungi seluruh jazirah, ke langit-langit Jerussalem, Tebing barat, Gaza dan kembali lagi kelagit-langit negriku yang memantulkan bayangan batu-batu beserakan dan puing-puing runtuhan bangunan akibat gempa juga semburan lumpur yang mengecat muka bumiku berwarna coklat.

Lalu penerbanganku mendarat di langit-langit rumah sakit, tempat ibu dirawat. Selang-selang menjulur dari hidung beliau sedang tangannya bengkak disatroni jarum yang menusuk nadi. Di sampingnya monitor yang menunjukkan angka-angka dan garis-garis seperti yang biasa aku lihat di televisi.

Leukemia yang menggelayuti beliau berada di stasiun tiga, terapi belum juga dapat dilanjutkan lagi-lagi karena biaya. Sungguh himpitan ekonomi ini menjadi cobaan berat bagiku. Ya tuhan usaha apa lagi yang hamba bisa lakukan untuk menyelamatkan ibu.

Paman bibiku sudah aku temui, jawabannya seputar “sepupumu mau berkhitan dan butuh biaya untuk syukuran”

Tidah jauh beda dengan uwakku yang bercaramah panjang lebar, seperti tahu saja apa mauku sebelum aku mengutarakannya. Mereka beralasan kalau anaknya akan mendaftar di perguruan tinggi. Tetangga kanan kiri juga tidak luput mendengar keluhan ku, aku putuskan untuk mendatangi saudagar kain pemegang asset besar di pasar kotaku. Namun jawabnya, “Coba kamu cari lembaga sosial yang melayani masalah kesehatan, atau minta pinjaman di Bank, atau ada baitulmal yang bersedia membantumu nak”

“Aku bukan meminta nasehat pak, aku butuh uang untuk ibuku, kalau tak lebih dari kata-kata yang mampu bapak sumbangkan. Lebih baik lain kali saja” Gerutuku dalam hati, tapi diam-diam kupikirkan usulnya. Sambil setengah mengangguk aku berpamitan sembari menyusun rencanaku yang selanjutnya. Walaupun aku tahu belum ada satu baitulmal-pun di negri ini. Ataupun tidak ada Bank yang melayani pinjaman hanya alasan nyawa.

@@@

“Mbak saya ingin tau administrasi Ibu saya” kepada resepsionis berjilbab itu aku alamatkan pertanyaan.

“Ibu Mas namanya siapa” Jawab perempuan itu sambil meraih mouse sedang tangan kirinnya menggapai fail yang dihulurkan coleganya.

“Ibuku bernama Falesthin, pasien leukemia” mendengarnya mereka berpandangan satu sama lain seperti ada perkataanku yang tidak dapat ditangkap.

“Ada apa mbak?”

“Oh, nggak mas apa tadi, ehmmm… ejaannya”

“F A L E S T H I N”

“Maaf ya mas…” setelah bebereapa saat kemudian, sepertinya ada bebaban berat mengantung padu di kepalanya.

“Medi, Mediterrani” lantas jawabku sebelum sang perawat salah memanggilku.

“Maaf ya mas Medi, rasanya kurang etis kalau saya mengatakan langsung, karena ini menyangkut pengobatan juga, Dokter Surya yang pantas menjelaskan kepada Mas Medi” Perempuan itu lalu menunjukkan ruangan dokter yang harus aku temui.

“Mediterrani anakku,

Mudah-mudahan Allah selalu merahmati mu nak. Ibu selalu berdoa untuk keselamatanmu. Dan memohon agar Yang Maha Kuasa menjauhkanmu dari fitnah dunia juga fitnah akhirat. Setiap yang hidup bakal mati nak, hanya waktu yang dapat menjawab pertanyaan itu, bagai mana caranya manusia mati hanya Allah yang maha tau. Janganlah penyakit ibu ini kamu jadikan penghalang kau meraih cita-citamu”

Remuk redam terasa dadaku, gerimis mulai melanda di pelupuk mata ketika membaca surat dari ibu. Mungkinkah ini pesan terakhir yang mampu beliau titipkan lewat dokter yang merawatnya itu. Bagaimana akan ku raih bintang tanpamu ibu? Bagai mana aku mengukir nama ketika ibu harus pergi? Untuk siapa ku perjuangkan semua ini? Ya Allah… ini masih di persimpangan jalan, jangan dulu kau pisahkan aku dengan ratuku. Jangan dulu kau coba aku ketika aku sedang keletihan dan lemah mencari belas kasihan. Seperti bah yang tak dapat dibendung, semakin deras air mataku menggenang tak tertahan.

“Ibu selalu teringat kata-katamu. Kau ingin membangun yayasan untuk anak yatim, membangun baitulmal untuk membantu orang-rang miskin, membangun rumah sakit untuk orang fakir, mendirikan yayasan beasiswa untuk anak pintar, dan banyak lagi cita-citamu nak. Hanya tinta pena yang mampu ibu bekalkan, karena hanya itu yang ibu mampu belikan untukmu. Tugas membesarkan mu sudah ibu penuhi, kini izinkan ibu mengantarmu di persimpangan hidup ibu. Tidak ada yang lebih membahagiakan ibu selain melihatmu sukses, kemudian melangkah agar semua mimpi jadi kenyataan” Semakin deras air mata mengalir dan menggoncang benteng jiwaku yang dulu teguh.

Seketika aku terbang kemasa lalu mengingat masa remajaku 6 tahun dahulu. Saat istirahat menanam padi di sawah, aku menerawang langit yang cerah, di atas awan sana aku lukiskan bangunan-bangunan bernama cita-cita. Ibu mengamini sembari membantuku mengecat dinding-dindingnya.

“Ibu… tidak ada yang lebih membahagiakan anakmu selain melihat ibu sembuh. semua pintu sudah aku ketuk ibu…. Semua meja aku datangi, tangan-tangan pejabat sudah ku jabat. Namun tiada Hartawan sedermawan Abu Bakar, tidak ada pemimpin setunduk Umar. Mereka tidak perduli ibu… Ya Allah kuatkan lah hambamu” Entah kapan waktunya terakhir aku mengusap air mata, tapi waktu itu, di ruangan yang serba putih, di depan dokter yang berpakaian bersih, sepertinya airmataku pasrah menggenangi atmosfer rumah sakit.

Semua yang kumampu sudah kulakukan ya Allah, Aku sudah mendatangi tetanggaku seperti yang ibu lakukan ketika malam-malam mencari sebatang jarum untuk menjahit bajuku upacaraku, Aku tebalkan mukaku kepada saudara-saudaraku seperti ibu ketika mencari pinjaman uang untuk iuran ujianku. Aku datangi meja-meja pejabat seperti ibu mengemis kepada kepala sekolah untuk menunda uang bangunan penendaftaran SMA-ku. Aku salami tangan-tangan pejabat seperti Ibu menyalami guru ngajiku. ALLAHU AKBAR..!!! Hati ku bertakbir, getir mengingati jerih pahit ibuku. Ternyata ini tidak sebarapa dibanding pengorbananmu ibu.

Ibu, bukan salah eyang memberi nama Falesthin untuk ibu, Namun kenapa nasib ibu sama dengan Palestina. Mereka menjerit, melaung minta pertolongan, tapi dunia seakan buta dan tuli. Aku bukan tabib yang manjur menyembuhkan ibu, aku tak punya harta untuk membayar semua ibu. Dua tangan dan kakiku seperti tangan dan kaki mereka, menggandeng sepanduk pembala nasib. Mereka tak punya jubah kebesaran dan tahta kekuasaan begitu juga aku, mereka hanya menyandang doa yang terangkai erat di setiap sudut spanduk-spanduknya.

“HIDUP… HIDUP ISLAM…!!!” suara orator yang lain membuyarkan wajah Ibu dari mataku. Lalu dijawab sorakan serentak para peserta demo.

Kembali lelaki yang mengikat kepalanya dengan kain bertuliskan syahadatain itu mengancam “LAKNAT… LAKNAT YAHUDI…!!!” semakin gencar orasinya berbahasa melayu saat menyadari hanya orang-orang melayu yang ada disekitarnya.

Lalu aku terpegun heran, di mana Al-Aqsa fans yang lain. Kenapa ada dua aqsa dalam satu kampus? Kenapa tidak kami bergabung seperiti sapu lidi sehingga menjadi kuat? Kenapa tidak kami bersorak serentak sehingga seantero alam mendengarnya? Kemana pemuda-pemuda berkulit barsih dan mencung menghilang? Kemana darah-darah Arab sedang mengalir? Kemana otot-otot pemuda Afrika beristirahat? Kenapa mereka membiarkan muda-mudi yang kerdil ini berteriak? Suara yang seukuran tubuh kami mereka biarkan melaung-laung hingga serak.

Agaknya begini kampusku mewakili wacana dunia, ternyata seperti ini pemandangan peta umat manusia.

Bendera ‘Israel’ yang aku pijak ini mengingatkan tentang kerudung ibu yang berwarna putih-biru. Warna darah di sepanduk bergambar anak kecil yang sedang terluka pula mengrimku kembali kerumah sakit tempat Ibu terbaring tak berdaya.

“Kenapa kau berjuang sendiri nak? Kemana Yerussalem, kemana Saudi? Kemana Misro? Kemana kaka-kakakmu? Bukankah kita masih punya saudara nak, kenapa tidak minta uwakmu Indonesi? Atau bibikmu Maly?” kertas bisu itu mengancamku dengan berbagai pertanyaan yang aku sendiri tak tahu harus menjawab apa.

“Mereka semua punya keluarga Ibu, aku tak enak hati, dan malu sendiri bila harus minta kepada mereka lagi bu. Sebagian mereka sudah membantuku, tapi sebagian pura-pura tidak tahu” Kututurkan jawaban untuk ibu pada kertas yang lusuh tak bermaya.

“Untuk Ibu nak, hijrahlah kemana saja kamu inginkan. Temukan mata pena untuk kau tuangkan tinta mu, temukan kertas-kertas untuk kau tuliskan penamu. Tinggalkan ibu disini sendiri, Tuhan maha kaya, semoga Dia membuka pintu hati kakak-kakakmu. Semoga Dia menginsafkan uwak dan bibimu.” Amin, ku usap mataku untuk keseian kalinya.

“Kita tidak punya banyak waktu lagi, ibumu harus segera diterapi. Baik mendatangkan dokter pakar dari Singapura atau menghantar kesana.” Tegas Dokter Surya ketika menyadari aku selesai membaca surat Ibu.

“Tapi kami tidak punya biaya, dokter.” Sambil mengusap air mata yang tersiasa aku menuntut ide dari sang dokter.

“Kabarnya kamu mendapat tawaran beasiswa dari SMA-mu untuk kuliah di Malaysia?”

“Benar dokter, tapi saya bingung, seperti memadamkan api dibadan dengan telapak tangan.” Jawabku bermadah.

“Ular yang berjalan mulus tak pernah kehilangan bisa, Medi.” Entah dari mana dokter muda itu tahu namaku. Tatapan matanya mengatakan ia ingin sekali menolongku.

“Saya tahu apa yang sedang kamu kamu rasakan, sudah banyak pasien saya seperti ini. Kamu termasuk orang yang paling tangguh yang pernah aku temui dengan usia semuda ini. Bahkan aku pernah mengalaminya.”

“Maksud Dokter?”

“Ketika hampir sidang kedokteran, ayah saya menigggal secara mendadak. Saya punya pilihan untuk terbang ke tanah air dari Australia atau konsentrasi dengan sidang saya. Pilihan yang sangat sulit bagi saya waktu itu, untung saja keluarga saya mengerti lalu menyuruh saya untuk konsentrasi.”

Pikiranku masih terfokus pada surat ibu yang semakin lama semakin kusut aku remas. Namun, kesan dokter yang menguatkan itu perlahan kutangkap.

“Kalau tidak kamu ambil tawaran ini, apa konsekuensinya?”

“Tahun depan dokter, itupun kalau tak di ambil orang lain.”

“Lalu kamu ingin membiarkan kesempatan emas itu di ambil orang lain?” tanpa sempat aku jawab sang dokter meneruskan kata-katanya. “Ibumu ingin sekali kamu melanjutkan tahun ini, Cuma kamu yang jadi harapan beliau. Janganlah kecewakan beliau Medi. Beliau tidak ingin melihat wajah kamu ketika sadar nanti. Itulah pesan beliau.

“Apa yang harus saya lakukan dokter?”

“Tetap berdoa untuk ibu kamu, ini ada tiket pesawat ke Singapura serta sedikit uang yang dapat kamu gunakan untuk ongkos ke Malaysia, tapi hanya satu jalan saja. Dan ini rekomendasi serta surat-surat rujukan rumah sakit, tolong kamu serahkan ke Rumah sakit di Singapura.” Sambil menyodorkan dua lembar amplop sang dokter dengan yakin mematungkan badanku.

Aku bengong sesaat seperti tidak percaya dengan apa yang sedang aku dengar. “Malaikat atau manusia yang berdiri putih bersih di depanku ini?” Gemuruhku dalam hati.

“Ta.. tapi dokter…”

Sang dokter kemudian mencatatkan nama dan nomor telephon di balik kartu namanya sendiri tanpa menghiraukan aku. “Alamat rumah sakit di Singapura semua ada di sini. Yang ini nama dan nomor handphone sahabat saya di Kuala Lumpur. Dia sedang melanjutkan doctoral filosofi ilmu Kimia di Universiti Islam Antarabangsa Malaysia. Mudah-mudahan dapat membantu kamu.”

MASYA ALLAH…. Engkau memang maha kaya, baru saja aku lipat surat ibu, sekarang engkau kirimkan malaikat serba putih meringakan bebanku. Tak sedikitpun keraguan atas Mu ya Allah, Aku sudah tak berdaya menolak pertolonganmu lagi. Aku kini semakin yakin, bahwa inilah tunas ikhtiar yang pernah aku tanam, inilah suburnya doa yang selama ini aku sirami. Sungguh engkau tak pernah tidur ya Allah, walau sesaatpun. Engkau juga tak pernah lupa walau sedetikpun.

“Sesampainya di Singapura nanti jangan lupa kabari saya. Asal surat itu sudah sampai, proses yang selanjutnya biar pihak rumah sakit yang mengurus. Sekarang yang terpenting surat ini secepatnya sampai ke sana.” Tutur Dokter Surya menjawab kekhawatiranku.

“Singapura… Malaysia… aku datang… Ibu… Aku titipkan Ibu pada Allah melalui tangan Dokter Surya.” Tanpa ragu sedikitpun aku melangkah meninggalkan Ibu yang sedang terbaring di rumah sakit.

@@@

“Medi” Tangan berbulu setengah kaku sedang merangkul pundakku. Ghulam, teman sekelas yang gempal berbagsa India Tamil itu mengejutkan ku yang sedang mengerumuni tempat demonstrasi.

“Bhay… you surprised me. Kesi hoon bhay” Gayaku menirukan Syaif Ali Khan.

“Tik hey… Ap kesi hoon” Kali ini dia tak meniru siapa-siapa. Menurutku dia tidak kalah tanding dengan Abishek Bachan kalau bersanding dengan Aisywarya ray.

“By the way, I found this in my box, I think it is for you.” Sambil menghulurkan sampul surat yang bukan dari dalam Malaysia. Perangkonya bertuliskan “Dengan pajak kita berzakat, derajat umat kian terangkat,” dan bergambar bangunan yang menyerupai supermarket, kelapa sawit, padi dan emas di buat dengan super expose yang sangat menarik.

Suratku, kenapa bisa di kotak pos India ini? Ah… pasti ada yang tidak beres. Pantas saja dulu Dabo, taman satu kamar asal Guinea itu menjemput surat dari luar. Ternyata benar katanya, kalau kiriman mau selamat di kampus ini, harus punya alamat pos di luar. Dia sendiri sering tidak menerima kiriman abangnya dari Jepang. Ya Allah, kali ini engkau kirimkan malaikat berkulit hitam menolongku.

“Oh, thank you so much bhay…”

Setelah memberi isyarat kepada Farhan untuk pulang ke asrama dan berpamitan dengan Ghulam, aku dan kawanku melesat dengan motornya ke kamar kami masing-masing.

“Terimakasih ya Far…”

“Oke Jumpa lagi.”

Buat ananda Mediterrani

di sebrang…

Semoga yang kuasa selalu melimpahkan rahmat buat mu. Alhamdulillah, berkat doamu kiranya kesehatan Ibu sekarang semakin pulih. Anakku, sepertinya Tuhan mengizinkan Ibu untuk merayakan kesuksesanmu. Ibu sangat bersyukur punya anak seperti kamu, rahmat tuhan bertebaran di mana-mana nak, rahmat-Nya untuk ibu di kirimkan lewat tanganmu.

Lihatlah betapa maha kayanya Dia, kakak-kakakmu kini bekerja sama membangun usaha untuk mengganti pengobatan ibu. Saudi yang sudah lama belum punya anak, sebentar lagi menjadi bapak. Uwak dan bibimu juga menjadi pertimbangan mereka.

Mari nak, kita bangun kembali gedung cita-cita itu. Gedung yang berpondasikan mimpi, berwarna harapan, berpagar ikhtiar. Daun pintu yang kau inginkan terbuat dari keyakinan, tabirnya bersulam kepercayaan, jendelanya berkaca tatapan masa depan.

Anakku,

Tajamkan mata penamu, cairkan tintamu, lembutkan tarian jarimu serta susunlah kertas-kertasmu. Setelah baris-baris kertas itu kau penuhi dengan angka perjuangan, jilidlah mereka dengan tali yang berpintal doa. Sampullah dengan pekertimu dan serahkanlah ke meja sebuah bangsa, bacakan pada kalangan manusia, suluh dengan lampu sebuah agama.

Keraskan bacaanmu nak. Agar telinga raja tersentuh suaranya, imam-imam jamaah tak lupa berjabat mesra, penggawa kerajaan bersiaga. Agar air sastrawan ikut mengalir di sungai tintamu. Agar musuh menjadi surut, perbedaan menjadi kerut, pengkhianat bertekuk lutut.

Anakku,

Ibu menunggumu membawa kabar yang tertunda, di persimpangan tempat kita menanam usaha, menyirami doa, menyemai mimpi memupuk harap. Agar semua sakit terobati, semua luka tersembuhkan. Agar semua tangis menjadi tawa, semua lara menjadi suka, semua hangat menjadi dingin, dan semua keruh menjadi bening.

Salam dan bingkisan doa dari Ibumu

Di kursi yang bernama rindu…

“SUBHANALLAH… ALHAMDULILLAH YA ALLAH… setahun bagai satu kelipan-Mu, satu Palestina telah Engkau selamatkan. Kelipan yang selanjutnya… Selamatkanlah Palestina yang lain… Amiin…”

@@@

2 comments:

ipit said...

Nice story... yang pasti lebih termovtivasi untuk sukses ketika orang yang tersayang pergi...

kiwiludin said...

Izin berkunjung dan menyimak langsung artikelnya gan??

Post a Comment

Kepada rekan-rekan yang kami hormati,Silahkan berkomentar dengan baik dan Sopan di form Komentar dibawah ini, karna kita sama-sama tahu kalau setiap panca indra yg kita miliki akan di mintai pertanggung jawaban kelak di akhirat nanti, O ya Klo rekan-rekan sekalian berkenan memberikan Komentar jangan lupa Kasih identitas,at-list Nama Anda, and jangan anonymous melulu!!!! , Terimah kasih sobat...

 

Komentar Terbaru

Ikmalaysia Followers